Kamis, Juni 25, 2009

Susu Murni Nasional


Kali ini kita berangkat dari satu kata, kebodohan.

Kata temen gue, “Kalo lo make bahasa yang tinggi dan sulit, justru bakal bikin lo terlihat bodoh”.

Nggak merasa setuju tapi mencoba-coba buat setuju (karena gue juga ga begitu suka temen gue yang satu ini), maka ijinkan gue untuk bermanuver dengan bahasa-bahasa akrobatis. Sekedar ingin melihat seberapa keren kebodohan gue. Ebiet G. Ade juga toh pernah menggumamkan tentang manusia yang sering bangga dengan kesalahannya.

Eh, iya, jangan pernah percaya kalo yang gue tulis sebagai judul itu selalu berkaitan dengan isinya. Mungkin iya, tapi lebih sering nggak. Karena beberapa orang percaya, memikirkan judul membuat kita gagap dalam bercerita. Dan kayaknya gue salah satu dari mereka.

Mungkin ada yang nggak setuju dengan kata-kata gue, tapi gue juga nggak peduli. Karena gue nggak pernah maksa mereka untuk peduli jadi buat apa mereka maksa gue peduli pendapat mereka. Apalagi gue nggak tau siapa mereka, jadi buat apa mereka sok tau siapa gue?

Kami nggak beda. Jadi apa yang bikin kami beda?

Nggak ada. Kalaupun ada itu sekedar kelakuan kami untuk melakukan hal yang berbeda dari orang lain.

Nasionalis kah kami?

Siapa yang tau? Raden Saleh Sjarief Boestaman aja masih dipertanyakan soal nasionalismenya. Dia itu orang Indonesia yang terlalu lama di Belanda. Dan kami? Siapa pula kami? Kami orang-orang kelahiran Indonesia dengan budaya campuraduk. Individu multikultur yang banyak disuapi ikon global tanpa logos terjejal. Identitas kami lebih layak untuk dipertanyakan ketimbang angkatan kami yang ikut-ikut memperdebatkan apakah Raden Saleh Sjarief Boestaman nasionalis atau nggak.

Oke, kita mulai lagi tulisan tanpa ujung pangkal ini.

Sebenernya udah dari tadi.

***

Dulu gue nggak suka minum susu, tapi sekarang, jangan tanya. Nah, cerita satu ini adalah pengalaman di saat gue masih labil, masih bersikeras bilang ga’ doyan susu tapi tetep berangkat sekolah dengan berat hati kalo pagi nggak minum.

Kelas 3 SD, rumah lama gue dipake juga sebagai tempat kost khusus cewe. Kebanyakan yang nge-kost tuh pengajar di ILP (jadi tau kan asal muasalnya bahasa Inggris gue yang amburadul ini?). Dan suatu waktu yang nge-kost bukan orang Indonesia pengajar bahasa Inggris, tapi orang Amerika berbahasa Inggris belajar Indonesia.

Suatu pagi sebelum berangkat sekolah, gelas susu gue udah kosong padahal belum sempet gue minum. Ngeliat si bule berdiri di depan pintu halaman, bikin gue berprasangka ke doi. Dengan yakinnya gue nanya apa doi yang minum tuh susu gue, dan doi bilang nggak. Gue certain masalah barusan ke nyokap gue, eh malah gue yang dimarahin. Nggak sopan katanya. Tapi kalo dipikir-pikir mending tanya langsung daripada mendem gondok ternyata salah orang. Tapi itulah mungkin budaya éwuh pekéwuh a la Jawa.

***

Ngomong-ngomong soal rumah gue yang dulu, ada satu cewe yang paling awet nge-kost di sana, namanya Dianti, alias DJ. DJ bukan profesinya dia, cuma nama panggilan. Soalnya tanda-tangannya kalo diliat sekilas, kebaca kayak DJ. Ga tau betah atau males, yang jelas dia baru memutuskan untuk pindah waktu rumah itu dipugar. Yang tentunya gue sekeluarga juga harus ikut pindah ke rumah gue yang sekarang ini. Yah, toh itupun juga bukan rumah keluarga gue.

Mbak DJ ini orangnya rame, mau jam 11 malem juga dia masih aja rame. Nggak ada orang dia juga tetep rame. Waktu henpon blom se-bérécét sekarang, tangga besi di samping kamar gue selalu bergemuruh setiap kali nyokap habis teriak “DJ!”. Apapun itu lah, tapi heran, kalo udah jam 8 biasanya tiap kali telpon rumah bunyi, selalu lanjutannya teriakan, “DJ!”. Kalo sekarang dipikir-pikir lucu juga kalo didenger sama tetangga. Mungkin salah satu dari mereka dulu pernah ada yang komentar, “Wah, keluarga si Koko okem betul yak!”.

Gue sering pinjem komik-komik Misurind jadul punya dia. Dari macem-macem judl yang gue pinjem, yang paling gue inget ya Hoem-Pa-Pa, komik paling tolol, tentang jagoan Indian bongsor (kayaknya sih suku Mohican) yang temenan sama orang Amerika. Detil ceritanya gue lupa, tapi kalo dibandingin sama Asterix & Obelix, Hoem-Pa-Pa lebih ngocok. Bertaburan panel adegan nggak penting, seolah ketidak pentingan itu wajar. Terselip di antara detil latar, ekspresi, ucapan, tingkah laku, hingga plot cerita. Like this!

Punya pengajar les bahasa Inggris di rumah = punya game-objective’s translator, apalagi kalo RPG. Haha. Gue emang bodoh dalam hal memanfaatkan potensi orang secara maksimal, sekaligus paling pinter mengerjakan hal-hal ga penting.

Nah, sekarang gue udah kuliah, dan dia sudah menikah. Selamat ya Mbak, tahniah kalo kata orang malingsiah.

***

Dan tadi malem gue ngimpi keren. Di mimpi itu gue mainin bagian drum dari suatu lagu pake sendok dan garpu plastik diketokin di meja. Masuk ke bagian synth ada Cadut, pake (semacem?) kibor biru kecil dari jelly dengan tuts transparan warna-warni. Di bagian vokal ada Danu (yang ketua angkatan), tapi dia nggak nyanyi vokal itu keluar dari buku dongeng buat anak kecil yang dia bawa, yang kalo dipencet ada suaranya. Anak-anak yang lain muncul satu-satu dari tirai hitam dengan hiasan kain emas bermotif di sekeliling kami, trus ikutan képrok, foto-foto, nyanyi, joget. Kobé lah pokokna mah.

Bingung?

Namanya juga mimpi.

Masuk penghujung lagu, gue mulai sadar. Dan waktu lahnya beres saat itulah gue 90% bangun. Aduh, sial. Gue liat komputer gue dan di Winamp gue buka file info lagu itu karena mata gue masih burem. Trus gue berharap tidur lagi, lanjut mainin lagu berikutnya. Tapi ternyata nggak bisa. Sial.

Coba cari albumnya Flaming Lips - Yoshimi Battles the Pink Robots trek nomer 7, Are You a Hypnotist. Udah? Itu lagu yang masuk ke mimpi gue. Dan sebenernya semua suara di situ produk synth semua. Jadi aneh juga kalo gue main drum. Lebih anehnya lagi, lagu aslinya sama apa yang gue inget dalam mimpi sama persis (kecuali di bagian fade in sebelum reverb drum di awal) termasuk bagian nada sumbang yang di mainin Cadut atau roll aneh yang gue mainin. Semua yang bisa gue inget, bahkan 12/12 (udah nggak 11/12 lagi).

Herannya, di mimpi kayaknya beneran kami yang mainin. Visual sama beat itu 100% klop. Roll sama reverb di bagian drum nyambungnya edan. Kerasa kaya emang suara itu muncul karena gue mainin, ga kerasa kaya lagi denger suara spiker komputer dan terus kita berusaha nyesuain beatnya. Kayak kita bisa ngeramalin beat 2-3 detik di depan. Freak.

Jujur aja gue nggak banyak melakukan akrobat bahasa. Tapi apa kalian sudah merasa bodoh?

4 komentar:

  1. lho, saya baru sadar ada komentar di posting ini, hahaha...
    terimakasih sudah menyempatkan diri berkunjung...

    BalasHapus
  2. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  3. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus