Jumat, Juli 02, 2010

1 Juli 2010

Agnes Monica ulang tahun, tapi bukan itu yang mau gue tulis.

Quickview: nggak perlu, yang jelas ini bakalan panjang.

Sekedar kata pengantar yang sama sekali nggak ringkas.

Jam 6 sore gue memutuskan untuk ke studio (baca: lapak) Roni, temen residensi gue dari ISI. Seperti yang sering kita dengar dari para bhiksu, “Isi adalah kosong, kosong adalah isi”. Tapi Roni tidak beragama Buddha. Itu Trisno yang beragama Buddha, dan herannya dia juga dari ISI, tapi dia juga peserta residensi.

Sebelum cerita berlanjut, mungkin ada yang, walaupun ingin bertanya, tapi merasa hidupnya akan menjadi sia-sia jika harus sampai mengacungkan jari. Kenapa studio dalam tulisan ini harus dibaca lapak? Jawabannya tidak lain tidak bukan adalah karena memang lebih mirip lapak ketimbang studio.

Nah, tidak seperti yang kalian kira, gue ke studio Roni bukan untuk bicara dengan Roni. Gue ke sana justru karena tidak ada kepentingan apa-apa dengan Roni. Mungkin kalian yang membaca keheranan dengan tingkah laku gue, tapi gue pribadi udah nggak heran lagi dengan kalian yang begitu mudahnya keheranan.

Sampai di sana ternyata ada Ucok, itu temen dari ISI juga. Jadi kami bertiga di studio yang mirip lapak itu. Iqi a.k.a Chipow, Patriot a.k.a Mukmin a.k.a Majong, Luthfi a.k.a Bala, dan Walid sudah terlebih dahulu berpulang mendahului kami. Dua yang disebut pertama temen seangkatan gue dari ITB, dua sisanya dari IKJ. Jangan tanya gue mereka semua dari studio mana, tanya aja mereka kenapa milih studio itu. Karena dengan cara itu, kalian juga akan mendengarkan curhat mereka tentang dunia seni yang mereka geluti selama ini. Apa gunanya kalian bertanya mereka dari studio mana kalau kalian tidak tahu apa yang mereka kerjakan di studio? Atau jangan-jangan mereka memang tidak pernah bekerja di studio?

Nggak lebih dari semenit gue sampai sana, Ucok menerima telefon.

“Halo!” katanya. Tapi kata-kata selanjutnya gak gue pedulikan, karena buat apa mengurusi urusan orang lain? Mereka toh sudah dewasa dan sudah bisa memutuskan masa depan mereka sendiri. Buktinya, toh mereka bisa jadi sarjana. Dan dari telefon itulah cerita berkembang, walaupun sama sekali nggak wangi.

“Eh!” Tegur Ucok, “Kau jadi balik sekarang?”

“Tar lagi. Napa? Lo mo cabut sekarang juga emangnya?”

“Iya. Aku harus ke Slipi. Males macetnya kalau kemalaman.” Ya, dari namanya kalian pasti tahu gimana cara dia ngomong kata males dan macet. Tapi kalau kalian ekspatriat, mungkin kalian tidak bisa mengimajinasikan apalagi menangkap apa yang saya maksud di sini.

Selanjutnya, gue akan melanjutkan kelanjutan cerita berlanjut ini sampai situ.

Pembicaraan berlanjut pada kesepakatan kami berangkat bareng setelah Ucok terlebih dahulu kencing di toilet umum yang disediakan gratis di sana. Dan walaupun dialog antara gue dan Ucok terjadi di studio Roni, tapi satu-satunya pembicaraan dengan Roni yang gue inget adalah saat gue mau cabut dan kami saling mengingatkan untuk berhati-hati. Entah apa maksudnya, mungkin sudah tradisi orang Jawa untuk mengatakan hal itu. Itu si Roni kalau tidak salah, berarti benar, dari Jepara.

Kami berjalan kaki hingga shelter bus Gondola dan menunggu bis gratisan yang melewati jalur arah barat. Bis pergi di saat kami masih sekitar 20 meter dari shelter. Tapi bis itu bukanlah satu-satunya di Ancol, seperti juga tidak cuma satu perempuan di dunia ini (Hey!). Maka kami tetap berjalan dengan langkah yakin. Jelas keyakinan kami tidak bertepuk sebelah tangan, karena setelah berdiri lama akhirnya bis yang lain datang. Kami masuk berebutan dan saling berdesakan. Tapi untung kami kebetulan pria lajang yang belum terikat perempuan manapun, jadi kalau bersenggolan tidak ada yang melarang (Hey!!). Kalaupun itu bukan muhrimnya tapi toh nggak ada yang protes. Karena bagaimana pun juga, sekedar bersenggolan di bis gratisan yang penuh sesak itu tidaklah bijaksana kalau sampai harus dibilang haram. Memang tak kenal maka tak sayang, tapi bukan berarti harus bermusuhan saat di naik bis berbarengan. Apalagi jika harus sampai pukul-pukulan. Sayangnya pertemanan pun sering pula dijadikan alasan untuk melambaikan tangan karena takut terdampar di tengah jalan (Hey!!!).

Tantangan selanjutnya, sekumpulan bau amburadul yang entah apa saja.

Asal tau saja, saat ini masih musim liburan anak sekolah. Herannya kenapa gue dan Ucok yang udah sarjana malah kena imbasnya. Buktinya, turun dari bis gratisan wara-wiri itu kami harus bersiap pula menghadapi antrian di bridge busway shelter. Waw! Itu istilah baru.

Gue kasih Rp 5.500,- ke mbak-mbak penjual karcis. Maksudnya biar dikasih kembalian Rp 2.000,- karena nanti gue naik bis Metro Mini nomer 62 dengan tarif segitu. Biar praktis. Uang kembalian dan karcis gue masukin kantong, dan karcis gue kasih ke petugas setelah gue kencing. Mungkin petugas itu tadinya pemarah, tapi kemudian dengan merobek-robek karcis dia menemukan ketenangan yang selama ini dia cari. Mungkin bagi anda yang pemarah, menjadi petugas penyobek karcis busway bisa menjadi pilihan terapi yang menarik.

Gue dan Ucok ngobrol sembari menunggu busway yang entah di mana supirnya. Heran, kenapa sebutannya busway padahal di badan bis jelas-jelas tulisannya Transjakarta? Tapi bukan itu yang kami obrolkan. Kami mengobrolkan bagaimana caranya berpameran di Galeri Soemardja. Agak geli juga sebenernya, direktur Galeri Soemardja namanya juga Ucok, dan gue biasa panggil dia Bang Ucok. Nah, kalau kata Bang dihilangkan, dalam konteks pembicaraan ini, yang akan merespon langsung adalah si Ucok temen gue yang dari ISI ini. Agak merepotkan emang. Tapi nggak apa-apa, karena ada busway lewat yang kontan disoraki “Huuu!!!” karena dia langsung cabut tanpa mengangkut satu penumpang pun. Hahaha, sialan.



Nah, nggak berapa lama setelah si pseudo-bus itu lewat, akhirnya datang bis gandeng yang mengangkut hampir setengah shelter. Dalam hati gue cuma bisa bilang “Sialan! Kenapa cuma bawa setengah shelter?” Akibatnya gue harus mengantri di samping cowok sok jangkung tapi gendut dengan bau keringatnya yang aduhai. Tapi biarin, pasang MP3 Homicide yang bising-bising juga sudah cukup membalaskan dendam gue. Nyahaha. Dan si cowok nampak kesal, mungkin karena dia keki tapi gengsi kalau harus sampai memamerkan kekuatannya di depan pacarnya. Tapi kalau dia mau ngajak bertengkar, ya nggak apa-apa. Bukankah bumbu pertengkaran yang baik akan mempererat ikatan pertemanan? Toh gue juga punya otak buat ngelawan ototnya dia, dan nggak mahir karate juga nggak berarti gue nggak bisa kung-fu. Nah, itu dia sudah kalah poin dari gue, karena itulah kami tidak sampai berkelahi. Walaupun dia sempat mendengus beberapa kali saat gue ganti track ke lagu Padi. Mungkin, karena yang di depannya itu bukan pacarnya, melainkan dia masih Menunggu Sebuah Jawaban (Hey!!!!). Tapi kalaupun benar gue nggak mau tau urusan orang lain, karena orang lain juga nggak pernah ngurusin gue. Toh gue juga memang dari dulu kurus, nggak seperti dia itu, gendut.

Setelah sengit bertengkar dalam pikiran kami masing-masing, dengan saling menghina dan melemparkan strategi, kami pun berbaikan. Kami saling meminta maaf dalam pikiran kami sendiri. Kebetulan bis datang, dan si Ucok dengan lekas mendorong gue masuk.

Dan hari belum berakhir. Masih ada kemungkinan nggak penting yang bisa saja akan terjadi. Sebut saja, seperti ban busway yang pecah mendadak di daerah Senen misalnya.

Bukan cuma gue kok yang nggak suka orang yang bertele-tele. Banyak juga orang yang ngaku begitu tapi omongannya muter-muter kayak keong (Hey!!!!!). Masalahnya, rumah keong itu mengikuti azas golden section (atau apalah itu namanya), makanya dia bisa oke. Mungkin orang yang bertele-tele tapi kalo mukanya kaya rumah keong bisa mendatangkan hoki juga. Nah, kalo gue bukan bertele-tele, tapi jelas-jelas ngelantur dan ngawur. Karena kalo nggak gitu cerita ini akan beres hanya dalam 1 paragraf. Coba liat, sejauh ini kalian sudah baca berapa? Karena kalau dibaca sampai sejauh ini, ceritanya memang nggak penting, tapi yang penting adalah memaknai sesuatu yang nggak penting hingga menjadi (seolah-olah) penting. Kalo boleh meminjam istilah yang pernah dilontarkan temen SMA gue dalam judul film pendeknya, Ignaz a.k.a Didz bersama Radian a.k.a Jawa, maka tulisan ini menjadi suatu Cela Cendekia yang menyenangkan. Setidaknya buat gue.

Ya, jadi ada satu dialog lucu yang terjadi di shelter Mangga Dua. Itu bis yang sama yang sedang gue naikin yang jadi saksi bisu dialog aneh ini. Bis yang sama yang harus berdesakan satu jam hingga akhirnya mau dinaiki. Dasar kuda!

Shelter itu penuh sesak dan sedari sejam yang lalu tidak ada perubahan yang signifikan. Signifikan sih yang datang, tapi yang terangkut dikit. Dan bis berhenti di shelter itu, seperti biasa membuka pintu. Entah formalitas entah apa, pintu langsung ditutup kembali. Ya, jelas-jelas bisnya sudah penuh memang. Mungkin pak supir membuka pintu untuk mempersilakan yang berbaik hati untuk turun di tempat itu dan bergantian dengan penumpang lainnya. Tapi nyatanya tidak. Tapi kalau pakai logika, supir itu agak bodoh juga nampaknya. Kalau saja para tujuan penumpang busway itu cuma shelter Mangga Dua, buat apa pula mereka ngantri sampai sejam dan berdesak-desakan? Dogol. Mungkin si supir penganut aliran eksistensialis yang menganggap orang-orang yang ingin diakui dengan cara iseng bin aneh tersebut masih mungkin hidup sampai sekarang, tepatnya di Jakarta dan sedang liburan di Ancol. Mungkin.

“Ini kami udah nunggu dari sejam yang lalu. Ini ada ibu-ibu bawa bayi, kasihan ini!” Itu ada suara seorang bapak yang gue ga liat mukanya karena gue menghadap ke sisi yang membelakangi shelter dan dengan posisi yang sangat tidak mungkin untuk melihat lebih dari 120 derajat dari sudut pandang normal. Seperti yang dia katakan, dia kesal karena harus menunggu kira-kira satu jam dan harus berbuah kekecewaan pahit tidak terangkut. Pasti dia lelah. Apalagi dia terpaksa harus marah-marah dengan situasi yang seperti ini.

“Oh iya. Bayinya kasihan tuh.” Kata seorang bapak dari dalam bis, posisinya kira-kira di sebelah kiri depan gue. “Tapi ibunya nggak.” Tandasnya lagi dengan intonasi yang cukup keras. “Bayinya biarin masuk aja!” Lanjutnya untuk menutup persoalan. Dan pintu ditutup, tanpa gue tau si bayi jadi masuk (bersama ibunya) atau nggak. Karena selain bis udah penuh sesak, gue juga nggak bisa nengok.

Akhirnya, memang betul, bis yang ini mengalami pecah ban depan kanan di Senen. Hingga harus berhenti 10 meter dari shelter. Karena saking keheranannya gue dan Ucok ketawa-ketawa dan lalu tos menggunakan tangan kanan, seolah kami penyebab semua masalah ini, padahal jelas-jelas kami korban. Si Ucok bersama puluhan penumpang lainnya dengan cepat memutuskan untuk turun di tempat itu lewat pintu darurat. Sedangkan gue dan sisa penumpang lain yang juga terlantar tenang-tenang saja tetap di dalam bis. Dan lalu, betapa beruntungnya gue dengan keputusan itu, karena 2 bis cadangan datang 10 menit setelahnya, dan gue naik ke bis kedua melanjutkan perjalanan transit ke Matraman, lanjut ke Manggarai.

Amin.

Rabu, Juni 30, 2010

Bis Kota, Oh Beruntungnya Naik Bis Kota

Dan gue merasa beruntung mengikuti program residensi di Ancol ini. Apapun resikonya, toh sisi baiknya gue bisa segera menjauh dari segala permasalahan dan repetisi lawakan bodor yang hanya akan menghambat pikiran gue. Walaupun hanya untuk sementara. Bukankah, akan lebih baik untuk belajar dari pengalaman hari ini dan menjadi lebih baik di hari esok? Daripada selalu takut dan menghindari resiko yang jelas-jelas harus kita hadapi suatu hari nanti. Belajar dari pengalaman pahit sama saja seperti mengalami imunisasi. Untungnya, waktu yang tepat selalu berada di pihak gue.

Rutinitas naik bis ke suatu tempat dan pulang ke rumah. Berapa tahun sudah berlalu sejak terakhir gue sekolah? Dan setelah gue lulus dari ITB, bergelar sarjana seni (ah, nggak penting!) akhirnya secara cepat gue dikembalikan ke rutinitas itu. Dan dengan sudut pandang baru gue bisa melihat dan kembali belajar memaknai segala sesuatu yang terjadi di ibu kota.

Walaupun dominasi bau keringat para pekerja di sore hari menjelang malam sudah mulai berkurang dari suasana ini sejak kemunculan busway, tapi tetap ada kelucuan-kelucuan yang gue yakin ga akan didapatkan oleh anak-anak yang manja pulang-pergi diantar supir. Perihal mereka tetep aja stres karena macet yang naujubile, gue ga peduli! Toh, mereka tetep bisa duduk dan mengomel mencaci maki keadaan dan kesalahan dengan santai. Sementara di dalam bis kota, kebebasan hanya ada di mulut sopir dan kernet. Kalau mereka mencium pantat kendaraan lain dan harus digebukin masa, ya itu lain soal tentu saja. Tapi gue sendiri nggak nyangka, kalau rutinitas ini lambat laun menjadi sesuatu yang, walaupun harus dalam keadaan bungkam, tapi entah kenapa terasa menyenangkan.

Menyenangkan menjadi saksi tidak penting atas kejadian yang lebih tidak penting lagi, seperti misalnya tiba-tiba sopir turun saat lampu merah dan tiba-tiba kencing di jalan hanya ditutupi sehelai pintu besi, lalu kembali mengemudi dengan wajah tanpa dosa ataupun rasa bersalah. Men, itu di jalan raya! Atau bagaimana menghadapi arogansi seorang ibu dan anak dengan tabah saat merebut tempat duduk di bis yang penuh sesak. Mencoba mendapatkan jatah kursi untuk masing-masing dia dan anaknya. Atau menyerahkan jatah kursi pada kakek uzur walau kaki sebenarnya sudah menolak untuk dijadikan tumpuan lagi. Belum lagi saat muncul perasaan aneh bin bodoh saat bersebelahan dengan mbak-mbak kantoran cantik (dan wangi), untuk beberapa menit merasa dekat. Dan di menit lainnya kami harus rela berpisah di koridor busway yang berbeda.

Yah, sekelumit cerita dari kegiatan harian memang selalu menarik saat dimaknai secara lebih lanjut. Nggak usah ngiri dengan cerita gue. Hahaha. Karena toh emang nggak ada pentingnya. Tapi mungkin yang akhirnya perlu gue tulis di sini, dalam lingkungan seni yang gue tinggali selama ini gue memang selalu diajak untuk peka terhadap keadaan sekitar. Kepekaan itulah yang mungkin membedakan seniman dengan pekerjaan lainnya. Sebagai seniman, kepekaan itulah satu-satunya kekayaan yang kami miliki. Tapi bukan berarti gue sudah peka, jujur saja gue malah nggak mau terlalu peka dengan keadaan sekitar. Alasannya sederhana, biar gue bisa menarik diri dan tidak larur terlalu dalam terhadap satu masalah.

Egoiskah gue? Ha! Kalian yang menilai.

Kalaupun gue selama ini merasa diri gue beruntung dan memposisikan diri gue sebagai yang beruntung, adalah karena gue nggak punya keberuntungan lain selain memiliki perasaan itu. Mungkin kalian beruntung punya mobil dan sopir. Mungkin kalian beruntung kuliah di luar negri. Mungkin kalian beruntung karena orang tua kalian kaya (ah, tapi toh bukan kalian yang kaya, hahaha). Mungkin kalian beruntung karena teman kalian banyak. Tapi mengingat kembali tulisan Oom Kahlil, bahwa keberuntungan sejati datang dari hati yang tulus, mungkin kita memang harus melihat kembali untuk merasakan, apakah kita cukup beruntung?

Gue akhirnya bisa memaknai banyak hal karena gue juga belajar untuk bertoleransi dengan segala jenis keadaan. Dan nggak semua keadaan itu menyenangkan untuk dihadapi. Tapi mungkin juga, karena itulah gue akhirnya bisa menghadapi banyak hal tanpa harus merasa terlalu membebani ataupun terlalu jumawa.

Institusi manapun di mana kalian belajar tidak mengajarkan tentang rasa dan perasaan, mereka hanya menanamkan filter. Pelajaran tentang rasa dan memaknainya hanya akan dapat dipelajari setelah membuka diri dan menerima dunia luar.

Akhirnya, hanya ada satu kata penutup: “Cieee!”

“I’m jealous to the whole world”

Ouw yea, Lois Lane mungkin berhak untuk ngemeng kayak gitu. Dan setelah sekian lama (sekitar 12 tahun) sejak terakhir gue nonton film itu, akhirnya gue bisa memahami dan mengerti maksud ucapan doi.

Well, okay! Menurut gue sih, hal itu lucu. Selama ini gue melihat wanita dihadapkan pada kodrat dan kesombongan untuk dipuja-puji. Tapi toh di sisi lain mereka enggan mengakui kalau mereka lemah. Dan, oh, oke, gue belajar satu hal yang pasti tentang tipe wanita kayak gini; gengsi mereka selalu lebih besar dari akal sehat mereka untuk mengatakan yang sejujurnya. Bahwa mereka merasa tidak aman akan banyak hal sepele. They always feel insecure. Apapun itu, perasaan tidak aman-lah yang akhirnya membuat mereka membentuk benteng dan, yah, pada akhirnya mungkin banyak bersikap kontradiktif. Antara perasaan dan ucapan menjadi sangat berbeda, begitu kata para sesepuh.

Tapi, memang banyak wanita cukup tegar dan mampu menghadapinya. Gue tau itu. Tapi mungkin Naga Bonar benar perihal setiap wanita selalu ingin dinaikkan setali, setangguh apapun dia. Takut menyinggung perasaan orang yang akan tersinggung. Oke, gue sudahi yang ini. Hahaha. Lagipula, sudahlah. Wanita benci kalau dibaca pikirannya, walaupun sebetulnya sering kali mereka butuh itu juga.

Antara Lois dengan dunia ini, mana yang lebih penting buat Kal-El? Kehilangan dunia berarti juga kehilangan Lois, tapi untuk menyelamatkan dunia itu berarti menghilangkan Lois dari pikirannya. Beratnya, Lois nggak pernah peduli dan nggak pernah suka sama Clark. Yah, semua orang tahu siapa yang dia suka, walaupun itu bukan berarti seluruh dunia tahu siapa itu Lois Lane. Sebodo.

Dalam kasus yang sama cerita berbeda, gue memahami kata Peter, “This is my gift, this is my curse”. Keberadaan pahlawan super hanya sebuah gambaran ketakutan dan kelemahan kita yang selalu membutuhkan pertolongan. Oh, ya, tapi nggak salah-salah amat kalau itu memang harus terjadi. Toh orang yang lebih kuat memang berkewajiban membantu. Tapi Non, maaf, dalam kasus ini pahlawan super nggak ada bedanya dengan manusia biasa yang punya emosi dan punya keterbatasan. Doi bukan Tuhan, dan gue juga bukan pengkhotbah. Jadi sudahi saja wacana super a’la Mario Teguh ini. Super Mario!

Kalau bukan karena cemen dan manjanya orang, mungkin Lois nggak akan sampe ngomong kaya yang di atas itu. Kenapa? Karena orang pasti udah nggak butuh si manusia baja itu lagi. Tapi mungkin juga, toh karena Lois juga cemen maka Clark suka. Dan bukankah dunia berjalan seperti itu? Hahaha.

Kritik: Sotoy lo Ko!

Respon: Biarin! Gue kan Virgo, ye!

It’s funny to know some things spins off. So then we can learn to live our life to the fullest. Selalu ada kesempatan untuk belajar, tapi selalu saja ada beban untuk membuka mata. Ah, itu sih cuma alasan saja. Yang jelas, maksud gue memang butuh waktu untuk menyadari korelasi antara satu hal dan hal lainnya. Walaupun sekilas berbeda, tapi inspirasi datang dari mana saja. Apa sih?

“Karena menurut pengalamanku, saat kau berada di dasar, satu-satunya jalan tersisa adalah kembali ke atas” – Thaddeus Thatch, Atlantis (kira-kira begitu setelah diterjemahkan).

NB 1: Ngomong-ngomong, kenapa di sepanjang film Superman II isi banyolannya ga penting semua gitu sih?
NB 2: Eh, itu belum termasuk celetukannya Lex Luthor dan bapak-bapak yang tetep nelpon waktu Zod nyemburin badai.

Call Me Garfield

Yep, sekali-kali dengan judul bahasa inggris. Itu jawaban gue kalau-kalau kalian mau bertanya, kenapa tidak menggunakan Bahasa Indonesia yang selalu gue bangga-banggain.

Oke, cukupkan bacot ini dalam nada sol-mi-re, minor!

Lalu 8 dari 10 pembaca akan bertanya, kenapa dengan Garfield. Dan maka, ijinkan gue untuk memberi selamat kepada pasangan yang tidak bertanya, karena itu artinya kalian menolak untuk mengikuti arus.

Apapun itu.

Pertanyaan pertama butuh lebih dari 3 paragraf untuk menjawabnya. Kenapa gue tahu itu? Jelas, karena gue penulis jawabannya.

Paragraf pertama, ya, tentu saja kami berdua mempunyai dua kesamaan. Coba kalian ingat seberapa gendutnya kucing itu dan seberapa pemalasnya dia. Seperti Garfield, gue punya hak untuk menjadi gendut. Hanya saja, sayang, itu nggak pernah terjadi. Tapi walaupun gue punya hak itu, toh kalaupun bisa gue nggak akan mau. Karena gue bersyukur menjadi diri gue apa adanya. Betul?

Nggak juga. Sebenernya itu salah. Karena bagaimanapun juga, gue sering juga merasa kesal dengan keterbatasan diri gue. Menjadi diri sendiri berarti pula memaklumi keterbatasan diri. Manusiawi untuk menjadi kesal dan marah, tapi itu bukan pembenaran. Lagian kayaknya susah jadi orang gendut, susah bawa badan. Entah aneh entah untung, gue nggak pernah bisa gendut. Hahaha.

Satu yang pasti, Garfield itu pemalas. Dan kalaupun di sedikit kesempatan dia menjadi pahlawan, itu bukan karena dia membela kebenaran tapi lebih karena kebetulan. Karena walaupun benar dan betul itu bermakna sama, tapi imbuhan ke-an membuat arti keduanya berbeda.

Ah, bacot!

Seperti Garfield, gue juga punya hak untuk males. Males itu menjadi dosa kalau dia menjadi pangkal kebodohan. Jadi kalo males, asalkan pinter, ya nggak apa-apa. Ya, tapi itu pun pembenaran, jadi jangan dipercaya. Ah, tapi toh terlalu rajin juga nggak baik untuk pencernaan bukan?

Eh, ini serius. Jangan dianggap bercanda!

Gue orangnya males untung mengulang-ulang sesuatu. Gue males untuk membuat sesuatu yang bermakna sakral menjadi profan. Tapi yang jelas gue males jadi orang bego, walaupun sering juga dibego-begoin justru mendatangkan keberuntungan. Well, I’m the lucky bastard afther all. Gue males melakukan hal yang nggak penting. Jadi kalau gue melakukan hal nggak penting, itu tandanya gue sedang menganggap hal itu penting. Banyak lah kemalesan gue kalo diitung-itung. Gue juga males nulis, tapi tulisan gue sering panjang-panjang. Jelas bukan lantaran gue rajin nulis, tapi lantaran gue males ngoreksi apa yang udah gue tulis. Dan yang terakhir, gue males untuk terlalu jujur. Walaupun gue juga ga suka bohong. Jadi, percaya nggak percaya, itu terserah kalian. Intinya, seperti si kucing gendut itu gue pemalas yang (untungnya) sering keliatan rajin.

Satu temen gue pernah bilang ini berkali-kali: “Have fun with your life”. Apapun maksudnya dia ngomong itu, yang jelas gue inget karena menurut gue quotes itu nggak jelek-jelek amat. Tapi bagus juga gue inget quotes itu, karena dengan begitu semua hal berat bisa gue hadapi dengan lempeng. Nggak perlu berlebihan dalam menilai sesuatu, yang penting hidup itu jadi terlihat menyenangkan. Betul nggak?

Kenyataan memang menyebalkan, tapi bisa jadi itu karena kita baru sampai pada sebagian kecil perjalanan hidup kita. Hidup ini nggak kaya baca buku, bisa di-skip. Nggak juga kayak main game, bisa di-restart. Apapun yang lo lakukan, yang terjadi tetap terjadi. Jadi jangan menyesali masa lalu yang udah lewat, apalagi kalo itu bukan salah lo.

Hafe fun with your life is a new way to giving up the grudge and smile up for tomorrow. Kuncinya, selalu berikan yang terbaik dan apapun kerjaan yang lo mulai kerjakan sampai selesai. Cie, gue udah kaya Super Mario Teguh. Zuper!

Pada pertanyaan selanjutnya, hanya 1 dari 8 pembaca yang akan bertanya. Ada apa dengan nada sol-mi-re? Minor pula! Tapi biarlah itu jadi jawaban atas sebuah ungkapan sentimentil belaka. Karena gue lebih memilih untuk diam, daripada bicara bohong. Ya, itu pun karena sompral atau meracau tidak masuk dalam hitungan bohong.

Kalian pikir semuanya berserakan? O`ho, kalian salah. Semuanya hanya berulang, dan akan terus berulang. Semua jawaban sudah disediakan sejak di awal, sayangnya kebutuhan kita terhadap semua jawaban itu baru muncul saat kita bertanya. Dan, maka, diamlah. Karena cerita terbaik tidak lahir dari aplus.

Tidak, karena dia yang melahirkan aplus.

Sisanya, sudahi saja seperti lirik lagu Efek Rumah Kaca. Untuk siapa tulisan ini dibuat, “Kau dan Aku Menuju Ruang Hampa”.

Senin, April 19, 2010

Cara Berbicara dan Membicarakan


Beberapa detik yang lalu, entah kenapa gue merasa nyaman berada di lingkungan Seni Rupa ini. Nggak pengen lepas. Tapi gue tau dari pertama gue memasuki ruangan ini, suatu saat gue harus cabut. Nggak berarti sekedar "cabut" yang dilontarkan bocah-bocah untuk menandakan dia akan segera pergi dari hadapan kalian. Yang ini agak berlebihan. Buat beberapa orang bisa berkesan sentimentil bahkan.

Tapi, toh kita nanti bisa ketemu lagi. Direncanakan ataupun nggak.

Dan lalu, apa yang gue tinggalkan selagi peran gue belum sepenuhnya memudar. Selagi waktu gue belum sebegitu habisnya untuk dijadikan contoh, yang toh tidak juga sempurna. Gue pengen berbagi cara kerja gue untuk kesempatan yang terakhir kali. Karena setiap orang bisa menjadi seniman, karena setiap orang bisa tampil keren dalam segala sesuatu yang dilakukannya.

Apa yang gue inginkan sebenernya simpel. Gue cuma pengen membuat hal simpel jadi keren. Nyambung-nyambungin ke industri, bukannya itu peran industri? Membuat bahan mentah jadi bahan jadi, atau menambah guna suatu barang. Dan kalaupun industri itu adalah jasa, mungkin cukuplah kalau gue dianggap berjasa menjadi contoh yang baik. Kalau nggak pun, namanya juga manusia.

Tapi nggak lah ya. Kalo udah disertai usaha mana mungkin hasilnya jelek. Ya nggak?

Maafkan kalau teori Tabula Rasa-nya Pak Prim harus bekerja di kepala gue, menyebabkan gue terlupa akan banyak hal kecil yang terselip di pojokan otak. Tapi Bruce Banner mana menginginkan Betty Ross hilang dari akal pikirannya?

Sudah saatnya gue bertanggung jawab terhadap kata-kata gue. Sudah saatnya gue mengeluarkan catatan lama dari laci. Seharusnya tidak ada kata selamat tinggal, karena "keluarga" tetap "keluarga" untuk selamanya.

Senin, Maret 01, 2010

Salam Bahasa

Sempat terpikir bagaimana caranya membangun kata-kata yang terdengar keren saat dibacakan dengan menggunakan bahasa indonesia, walaupun notabene itu tidak menggunakan EYD yang baik dan benar. Pemikiran itu mulai muncul sejak gue dan zaldy menahkodai pameran KGB '08 sebagai kurator. Ada pertanyaan yang tersembur dari congor seorang anak, yaitu "Kenapa harus pake bahasa indonesia sih?" Dan gue membalikkan pertanyaan itu dengan premis lain yang berlaku sebagai pertanyaan balasan "Emang lo pikir bahasa inggris lebih keren?"

Maksudnya, dalam dunia institusi memang banyak kata serapan yang digunakan untuk mempersingkat suatu penjelasan. Tapi ketimbang terlalu bertele-tele atau menyuburkan redudansi ngawur, alasan penggunaan kata serapan di era globalisasi ini ternyata lebih banal daripada pemikiran itu sendiri. Nampaknya bahasa inggris memang terdengar lebih keren dan lebih mengglobal kerimbang bahasa indonesia yang terdengar mistis itu. Yah, gue pun akan mundur kalau ditanya apa gue jago dalam menggunakan bahasa indonesia. Gue akan bilang gue cupu. Tapi gue berusaha buat memperbaiki bahasa indonesia gue. Karena toh, sepengamatan gue, bahasa indonesia dengan EYD-nya itu akhirnya nggak bisa berdiri sendiri tanpa bantuan sokongan bahasa lokal, bahasa terminal, bahasa gaul, bahasa serapan, bahasa anarki, dan bahasa politik. Semua sub-bahasa itu memiliki gramatikanya sendiri yang membantu logika bahasa indonesia sehingga ia dapat berdiri dan memiliki sikap layaknya bahasa dunia lainnya. Akui saja bahwa banyak bahasa indonesia yang tidak memiliki padanan kata dalam bahasa inggris. Bukan karena ia bertele-tele, tapi lebih karena sifatnya yang spesifik. Itu belum lagi jika dikawinkan dengan bahasa daerah. Contohnya bahasa jawa memiliki kata "kopet", atau bahasa sunda dengan "tisoledat".

Pernah dengar anggapan orang yang mengatakan bahasa jerman itu maskulin-tegas atau bahasa prancis itu feminin-romantis? Kalau begitu gue berani aja bilang bahasa indonesia itu adaptatif-politis. Seperti bunglon yang mendalangi gerakan non-blok, bahasa indonesia dapat bermanuver dalam banyak sifat. Itu yang membuat dia supel di antara sekian ribu bahasa dunia. Kekayaan ini disebut orang asing dengan istilah lingua franca, itu kalau gue tidak salah menangkap. Toh gue membuat tulisan ini biar kesannya keren dan seperti berpikir.

Tidak banyak yang gue pikirkan memang, tapi membongkar-pasang bahasa indonesia buat gue menjadi sesuatu yang menarik ketimbang menjiplak argumen berbahasa inggris yang singkat. Dan, oh ya, menjiplak bahasa spanyol itu beda cerita, karena toh mata kita tidak terbiasa dengan runut simbol bahasa yang seperti itu. Sampai di sini ada sanggahan?

Kalau tidak, gue lanjutkan tulisan sampah ini lain kali. Itupun kalau ingat.

Kamis, Januari 07, 2010

Catatan Nomor 336: Keterlambatan Tidak Pernah Datang Tepat Waktu

Setelah degup jantung yang remuk redam melacur tak laku serupa kicauan iklan. Setelah semua lelah bercampur karma dan terkalang fatamorgana fajar harapan. Setelah semua butir dan bulir remah nomaden tersisa tak dapat lagi ditelan. Setelah derit dan desis ditempa menjadi parang yang hanya dapat berbicara dalam satu bahasa tanpa suara. Setelah semua strata limasan antara kau dan aku runtuh menjurang. Setelah semua pesan tersampaikan sehingga menghilangkan pertautan. Setelah ladang kekecewaan menguning dan siap untuk dirajang. Setelah setiap bulir alasan merundukkan setiap tangkai pertanyaan. Tidak ada lagi yang kau sisakan selain teka-teki yang hanya akan terjawab saat bumi berhenti memutari hari-hari membosankan.

Dan seperti saat derit pintu kalam menandai kepergianmu silam. Dan seperti saat semua huruf dan angka temaram setia menemani pijar bahasa yang hampir padam. Dan seperti itulah aku khatam dengan mata merah mencalang tanpa sempat terpejam sejak kau sematkan dendam di antara kedua bilah kelopaknya yang meladam. Dan kesalah pahaman yang tidak bisa tidak muncul setelah semua keegoisan terkuras akan kutukar dengan asuransi yang memastikan kepergianmu abadi. Dan jika suatu saat nanti kau akan kembali, letupan angkara dari udara yang kau hirup menghempaskanmu lagi pada titik di mana kau menyadari arti sendiri.

Mungkin kita pernah bersama dan berbagi parut luka dan lebam. Mungkin peran dan jasamu pernah mengorosi ingatan bagai asam. Mungkin aku pernah menahan pitam saat gelombang keegoisanmu lebih menghantam dari godam. Mungkin satuan ruang dan waktu tak pernah jitu dalam memprediksi kehadiranmu. Mungkin kata janji dan pasti pernah kuhapus dari kamusku. Mungkin titik nadir ingatan itu tidak ada artinya lagi saat denyut riba mencapai muara dan pamrih mulai menggerogoti nadi dalam sekejap mata.

Catatan Nomor 312: Ucapan Maaf Seorang Teman Tidak Pernah Datang Bersama Rasa Bangga

Gue pikir menjadi seorang teman yang baik merupakan kebaikan yang melebihi segala sesuatu. Selalu ada di saat dibutuhkan, selalu membantu dengan tulus, selalu memberi jalan pada setiap sudut mati, selalu tanpa pamrih. Nggak butuh alasan untuk menjadikan sesuatu lebih baik buat temannya. Nggak mengharapkan dan nggak membutuhkan balasan untuk setiap hal besar yang telah dikerjakan, tapi tetap mau menerima setiap kebaikan dengan besar hati.

Gue pikir gue bisa jadi orang yang seperti itu, dan ternyata gue salah. Gue gagal dalam membuat segala sesuatunya lebih baik buat temen-temen gue. Berusaha mati-matian dalam berperan sebagai teman yang baik, mencoba berpikir positif dalam setiap kekacauan. Ternyata semuanya hampa seperti tiang keropos yang dikerjakan kuli borongan sok tahu, menunggu saatnya runtuh dan menimpa mati semua orang di bawahnya. Mungkin benar kata Nicole, "Tiang itu sudah terlalu keropos, dan aku harus pergi untuk membangunnya lagi dari awal".

Mungkin ini memang ganjaran yang harus diterima, karena telah menjadi teman yang buta. Mungkin kekecewaan ini adalah buah dari ketidak becusan dalam menjaga tiap simpul tali pertemanan. Sehingga ia akhirnya terlepas satu persatu, sehingga ia akhirnya putus dimakan usia, sehingga ia akhirnya terlalu tegang terbentang dan berai.

Tidak pernah nalar dan logika datang bertautan dengan gelombang pasang perasaan kecut dan kerdil. Tidak pernah seharusnya pertemanan berawal dari rasa butuh dan keperluan sengit. Mungkin apa yang terjadi hari ini terjadi sejak hukum tersebut dilawan. Mungkin akhirnya semua yang kita anggap nyata memang tidak pernah ada dari awal. Mungkin semua kemungkinan memang sekedar harapan yang tidak pernah mewujud dan meraga dalam satu sosok pribadi yang kita harapkan.

Mungkin semua yang kita harapkan akhirnya harus dapat dipasrahkan ke dalam gurat kesia-siaan. Saat gue membayangkan sebuah skenario yang memiliki epilog melegakan, ternyata gue baru sadar akan keberadaan sebuah awal masalah di depan. Dan setelah semua tenaga gue terkuras, ternyata itu baru membawa gue menyelesaikan cerita pembuka. Dan dengan kebodohan-kebodohan itu gue telah menipu mereka.