Selasa, Desember 22, 2009

Crèche


Tercium bau kenangan yang meyeruak semerbak dari rumah. Ingin mampir dan mendekat. Merasakan kalau bisa. Walaupun itu semua pasti tentang masa lalu. Lagi dan lagi. Pohon natal kecil terpasang di sudut meja telpon. Pohon akhirnya bisa dibeli sewaktu kaki menjejakkan lantai sekolah dasar. Pohon yang walaupun kecil tapi menyimpan banyak kenangan. Ada harum masakan di setiap dahan plastiknya. Makanan yang biasa saja, tapi selalu tersaji secara khusus.

Menyisiri kaki pohon yang rapuh, terlihat kartu-kartu pos yang diberikan secara khusus oleh teman baik. Dan selalu ada satu dua nama yang spesial di sana. Kartu-kartu yang kini tergantikan dengan teks digital. Mungkin pena terlalu cepat terbakar. Mungkin tinta terlalu cepat mengkhianati pikiran.

Memang hari-hari seperti itu bukan tentang mendapatkan pakaian baru. Mungkin hari-hari seperti itu hanya sesederhana untuk bersyukur dan merekapitulasi semua pengeluaran dan usaha, peluh dan darah, bulir dan remah. Mungkin seharusnya di hari seperti itu setiap orang lebih baik tidak menangis dan meratap. Mungkin seharusnya mereka tertawa bahagia. Karena setiap kelahiran harusnya disambut bahagia. Dan kematian pun seharusnya tidak disambut dengan kegetiran. Tapi apapun yang terjadi-terjadilah. Hanya saja jangan pernah menyesal dan terpuruk.

Senin, Desember 21, 2009

Saatnya TA, Saatnya Berleha-Leha, Saatnya Bercerita


Saat ini gue makan popmi yang komponen monosodium glutamatnya belum tercampur merata. Tapi nggak masalah, kerena toh masih enak-enak saja. Kecuali kalau air-yang-terlalu-banyak dihitung sebagai persoalan.

Pada suatu hari di suatu ketika saat gue sedang tidur dalam senyap, seorang anak kecil menghampiri gue dalam mimpi. Dengan kuda poni dari resin dan pancang carousel (what was that? carousel, phonecell, and michel? another jumble 3 and selsel business?), dengan blekberi di tangan dan messenger di layar. Every feeling to talk is a text. Now you text to talk.

Tapi di sini nggak ada yang salah. Yang salah adalah gimana gue udah nggak bisa berbicara dalam mengungkapkan apa yang gue rasakan. Di saat dunia sudah terlalu berisik, lebih baik gue diam. In the world full of sound, all you need to do is listen. In the world full of noise, all you need to do is move. If the world full of voice, and if you are granted a wish to mute one, whom would you pick?. For the sake of my life I believe you would never pick yours from the entire lines.

Berbicara tentang pameran everything you know about art is wrong. Berbicara tentang semua kesimpang-siuran fungsi seni yang membanal hingga sekedar menjadi hiasan profan. Berbicara tentang intereferensial yang terlalu jemawut dalam setiap catatan. Yang terlalu berakrobat dalam setiap penampakan yang gagal menyampaikan. Catatan kuratorial apa itu? Mencomot berbagai referensi dari apa yang dengan mudahnya dapat kita temui, di mana letak orisinalitasnya? Di mana letak wawasan studi akademisnya? Di mana letak kekuatan jualnya?

Atau jangan-jangan memang seperti itulah tabiat para kurator selama ini? Asal comot dan asal keren. Asal tak banyak orang yang tahu dan bahasanya terlihat seperti wah dan berpendidikan maka hadirlah di situ nilai jual. Entah kenapa pada titik ini kurator lebih terlihat seperti binaragawan ketimbang kuli pena di balik kaca mata gue. Atau nikmati saja keadaan ini, siapa tau akan bermunculan banyak kelatahan-kelatahan lain (dalam bahasa inggris diistilahkan dengan kata "after").

Mungkin yang salah adalah institusi seni yang terlalu lama mengagung-agungkan hukum dan dalil sehingga buku menjadi dewa bagi kaum librarian nekrofilik. Mungkin salah mereka juga kita tidak pernah diajarkan hal baru. Mungkin salah mereka kalau kita hanya boleh lulus atas apa yang sudah pernah dibuat. Mungkin salah mereka juga kalau perasaan dan ego orisinil itu mati. Sebab setiap kali kita merasa orisinil, kita harus kembali berhadapan dengan permasalahan lama di mana kita harus menemukan karya serupa yang sudah pernah dibuat sebelumnya. Seolah berkarya menjadi seperti iuran yang nantinya akan dikocok dalam arisan pameran di galeri-galeri besar yang tidak tahu apa isinya sebelum kita membuka gulungan kertas dan membacanya keras-keras.

Tapi toh saat gue buka Alkitab, di situ Raja Salomo (Nabi Sulaiman, King Solomon) pernah menegaskan bahwa tidak ada yang baru di dunia ini semuanya sia-sia dan semuanya sudah pernah dilakukan dan terus berputar. Yah, bahkan para avant-gardist sudah dibunuh sejak ribuan tahun yang lalu, dalam Kitab Kebijaksanaan yang ditulis sang raja.

Jadi apa yang salah tentang seni dan apa yang membuatnya tampak seperti itu? Apakah seniman tidak pernah tahu apa yang ia kerjakan? Apakah mereka terlalu malas bertanggung jawab atas karya mereka? Atau memang benar selama ini perihal words narrow art? Atau jangan-jangan semua yang kita lihat ini hanya akumulasi permukaan masalah yang kehadirannya seperti gunung es. Atau jangan-jangan semua ini hanya seolah salah. Mungkin semua ini hanya pelatuk yang memicu diskursus selanjutnya, mungkin juga seni memang sudah mati sejak ia dilahirkan dalam kesalahan. Mungkin yang kita lakukan selama ini hanya mengusung keranda mayat seni yang sudah lama mati.

Mungkin seni sudah lama mati bersama tuhan. Mereka mati dikhianati profit, dominasi, dan komodifikasi, dan ekspansi korporasi. Maka sejak itulah seniman bangkit dan berusaha mendekati fungsi tuhan dan menjadi tuhan-tuhan kecil (setidaknya bagi diri mereka sendiri). Masihkan kita merasa perlu untuk menyediakan waktu, menyempatkan diri menyaksikan acara realigi kacangan, yang hanya peduli rating, tapi tak berujung pangkal dalam menyelesaikan masalah dialog macet antar agama di negara ini? Mungkin Zapatista lebih berhasil menciptakan dialog terbuka tanpa narasi yang panjang lebar ketimbang kita yang katanya beragama, beretika, dan cinta damai ini.

Nic, Nic, sini dah. Gue pengen ngomong.

Suatu hari seorang teman pernah datang dan melihat draft catatan kuratorial yang gue buat. Waktu itu gue sadar kalau membuat catatan itu nggak akan berguna banyak, selain hanya menambah ketajaman insting dalam melakukan manuver dan akrobat bahasa. Gue bukannya pengen ngebocorin rahasia kalo temen gue yang ini anaknya labil dan sempet beberapa kali nangis tanpa sebab, tapi apa yang gue pengen sampaikan adalah omongannya. Bahwa dia pernah bertanya "Emang setiap catatan seni harus dibuat kayak gitu ya? Bisa nggak dibuat biar orang awam kayak gue bisa lebih gampang nangkepnya?" Yah, tapi omongan bodoh itu nggak menghasilkan apa-apa selain kebingungan lain yang menyebalkan. Kebingungan untuk menetapkan yang mana yang lebih pantas berada di dalam sorot lampu panggung. Antara permasalahan majas visual atau metafora.

Percayalah, gue memperhatikan dia lebih daripada gue memperhatikan pohon atau omongannya.

Sabtu, Desember 19, 2009

The Unimportant But Somehow Important


  1. mari kita gebrak langit dengan kepalan tangan mengangkasa dan belati terhimpit pada mulut...
  2. dengan beban yang harus secepatnya dilarikan, tenggat waktu yang tak dapat diabaikan, dan ketidakmungkinan untuk mengulang kebebalan...tidak ada lagi yang tersisa untuk disesalkan...
  3. belati terhimpit pada mulut...menghalau gertak gigi, mempersingkat kata, dan merapatkan bahasa...
  4. selamat berjuang, hei teman2 yang akan berpameran dalam waktu dekat ini...saya akan segera menyusul kalian dengan gebrakan selanjutnya!!!...
  5. seperti air beriak tanda batuk berdahak...seperti kacang lupa kulitnya...seperti orang tua lupa, buah jatuh tidak jauh dari pohonnya...
  6. mau gambar kelinci kenapa jadi kura-kura?...mungkin ini akibat makan udang di balik batu... mau gambar kura-kura dalam perahu, kenapa jadinya malah bahtera rumah tangga?...mungkin nenek moyangku bukan pelaut, mungkin ia petani kacang lupa kulitnya...
  7. ada apa sih dengan peribahasa berakit-rakit ke hulu berenang-renang ke tepian?...apa sejak jaman nenek moyang udah banyak pemalakan di laut?...
  8. mencoba menggambar kura-kura dalam perahu...kenapa jadinya malah bahtera rumah tangga?...
  9. cuma orang narsis yang selalu bisa melihat ke belakang...itulah alasan mengapa mereka setara dan serupa dengan sopir dan tukang ojek...
  10. mau gambar kelinci kenapa jadi kura-kura?...oh, pantes kelincinya ketiduran pas lomba lari, jadi ga kegambar...
  11. mau beken kaya Ada Band?...gantungkan cita-citamu setinggi langit tujuh bidadari...
  12. apa mending jadi provokator aja?...bisa sekalian merangkap maling teriak maling...
  13. ga enak jadi maling...ga bisa lempar batu sembunyi tangan...tangannya kepanjangan...
  14. pagi-pagi gini enaknya makan udang di balik batu...
  15. good luck lucky bastard!...
  16. artists are freak because they destruct something good in order to make greater work...
  17. both God and I know that you are lying...
  18. you never know that someone is hurt, when you think no one need to know what hurts you...
  19. we don't point at ourselves because we can never see our back...
  20. lho, gue pernah denger dari seorang mertua seniman grafis bahwa "...seniman adalah manusia yang paling dekat dengan Tuhan"...jadi mungkin pernyataan itu ga salah-salah amat...hehehe...God I'm baptized... 0:-D
  21. Tuhan sempat bertanya "Mau jadi apa kamu nanti?"...gue jawab "Mau jadi seperti Engkau"...dan ternyata seperti itulah rasanya menjadi seniman...
  22. yang terdengar hanya suara nafas, degup jantung, dan goresan jarum di atas plat...terima kasih...
  23. dan hanya Tuhan boleh tindas kami, itu pun kalau Ia mau...
  24. pengen lempar sepatu tap-dance ke muka orang-orang yang banyak bacot...
  25. memang cuma etsa yang bisa bikin kulit putih... nb: maaf jika menyinggung para cukilers, sabloners, dan lithographers...
  26. teman2 bilang saya putihan...mungkin karena terlalu lama mendekam di penjara (baca: studio)...
  27. Dijual cepat! Semangat: tipe 45 untuk anda-anda yang sedang TA! Hubungi: xxx6-84040-xxx. Dijamin tokcer...
  28. don't think about a thing when you feel you don't want to...
  29. the easier you find someone, the harder you found them when they dissapear...
  30. nowhere to find when don't want to be found...
  31. google earth: travelling without moving...
  32. "cukup biarkan saya mengklaim seni sebagai jalan satu arah yang dapat membawa saya kepada anda"...
  33. mendrawing lagi!... ada gak ya orang kurang kerjaan yang iseng ngitung jumlah garis di karya gue...dan bener...hahaha...
  34. kalian para kaya dunia hanya sejumput bilangan yang mengais pertolongan kami kaum papa yang telah memahkotai dunia...
  35. threading borderlines by giving you all the things you need (appropriating C.A.J)...
  36. it's a constant wave that turns the lozenges of life to noncombustible zephyr...
  37. terhambat kodrat jengat pada tengat plat laknat tanpa syarat...
  38. ya Tuhan, seandainya ada satu hari yang tenang, saya akan berusaha melakukan 3 pengasaman bertingkat, SEKALIGUS!...
  39. saat kalian lihat apa yang kalian ingin lihat, maka aku akan menjejalkan mata jumawa kalian dengan propaganda penghabisan yang elegan...
  40. hidup seperti tahanan Pulau Buru...saat sakit berlanjut: KOP-ROLL sampai berkeringat...
  41. berkata: "Jangan harap menantang senja kalau tak dapat menyambut pagi!"...
  42. mencalang semiotika kosmetika dan wana nirmana panca indra anak naga di bibir kawah candradimuka...
  43. ulangi kata-kata "Sakral-Profan" di kepala, sebanyak yang anda butuhkan, hingga jadi waras kembali...
  44. your body is a graphic art!...
  45. Nderek Dewi Maria,temtu gengkang manah... Mboten yen kuwatoso, Ibu njangkung tansah... Kanjeng Ratu ing swarga, amba sumarak samya... Sang Dewi...mangestonono...
  46. you MAKE them happen!...
  47. no me chingues!...vete a la chingada!...
  48. Ισχύς μου η Αγάπη του Λαού (Ischys mū i agapi tou laou)...
  49. media nox meridies noster...
  50. let's play hide and seek...first body found will be the dead one...

Minggu, Oktober 18, 2009

Entah Apa

Andaikata begini, lo menonton drama korea dengan bahasa korea dan subtitle bahasa inggris. Pastinya subtitle itu seolah terdengar di kuping, menggantikan omongan bahasa korea yang nggak lo mengerti itu. Dengan intonasi yang tetap terdengar hingga seolah bahasa inggris itu beraksen korea. Di luar permasalahan aktor yang ganteng atau aktris yang cantik, yah kita tahu bahwa ekspresi itu bisa bersifat sangat universal. Hingga seandainya (lagi) subtitle bahasa inggris itu dilenyapkan dari layar, kita tetap tahu perasaan yang ingin disampaikan si aktor dalam perannya.




Oke itu hebat, tapi jangan permasalahkan sinetron indonesia yang jeleknya sebelas-duabelas itu. Kita semua tahu siapa yang bersalah atas kebanalan acara televisi indonesia. Sekali lagi jangan permasalahkan sinetron indonesia dengan akting sampah itu. Yang hanya beramunisikan zoom -in, zoom-out, dan sfx midi 16-bit kacangan. Jangan permasalahkan apa yang ada dalam kepala orang hungaria seandainya mereka menonton sinetron indonesia tanpa subtitle. Karena cukup satu kata, sinetron indonesia tidak layak jadi sumber devisa negara.

Beberapa orang memanfaatkan ambiguitas yang terkandung dalam kata-kata yang akrobatis untuk menjadikan tulisan mereka menarik. Beberapa lainnya cukup senang dengan kebanggan yang dihasilkan. Beberapa orang tidak ingin terlihat bodoh karena dia tidak mengerti apa yang dia tulis. Sayangnya dalam kasus-kasus seperti ini gue jarang mikir gue bakal nulis apa.

Surat Mati Yang Mengingkari Bukti

Judul Sepanjang Isi Dengan Satu Inti: Gosip Lampu Merah Lawakan
Saat semua orang ingin didengarkan
Mereka berteriak riuh-lantang
Dalam tumpukan bahasa yang tak lagi dapat dicerna

Ambil satu dari kumpulan itu
Dalam senyap coba simak apa yang ia hasilkan
Taruhan, itu tidak lebih dari berita spekulasi yang digembar-gemborkan
Konsumsi pagi para budak belian yang diacuhkan majikan

Tempelkan kembali telinga mereka yang terlepas
Sepasang untuk satu orang
Mungkin perlahan desing koar ini menjadi sayup

Atau sekalian saja putuskan pita suaranya
Agar letup komat kamit cukup menjadi impuls informasi visual
Semua orang ingin didengarkan
Sayang tak satupun dari mereka dapat mendengar




Melingkar Perak di Sisi Nadi...
Menjalani kesibukan tanpa arah dalam genangan darah
Membalut lagi ranah yang sudah tertutup tanah
Memandangi batin yang tak terjamah
Mendeskripsikan emosi tersirat pada secercah rona wajah

Mencalang tafsir mimpi pada barisan waktu penghalang masa
Bersengketa dengan nipah logika kalam dan angkara
Ceceran ingatan ini bukan Urd, Verdandi, atau Skuld
Melainkan sinyal parik pecut prajurit pelanduk

Menghimpun barisan hasrat pada lapangan apel
Saat otak tak lebih baik dari ceret penadah air remasan pel
Siklus hidup tak menjawab semua doa yang tertuang dalam lingkar lilin kapel
Tak juga memberi prozac pada degup keingintahuan cantrik gembel

Masa ditemani dan ditinggal bisu membuncah serupa gelaran tablo hantu laut
Hamparan cerap netra yang senihil nasionalisasi jutaan lahan gambut
Meraga dalam goresan baja pada plat dengan semangat yang sudah habis terparut
Mencantumkan dua nama pada nadir langkah gontai berselimut kabut


It's a Big Hope, Smal Action...
Mereka ada di sekeliling kita tapi tak pernah kita lihat mereka
Menjaring kebebasan kita pada strata limasan
Negara tanpa hirarki berpijak pada awan kelabu utopia
Membenamkan kanal-kanal pemikiran dalam beton pasca ledakan

Senada langgam institusi pendidikan dengan mental politik proyekan
Ladang carang tiruan yang membuahkan anggur asam
Petinggi yang melebamkan wajah anak didiknya dengan guratan ultimatum non-akademis
Yang merekapitulasi setiap harga pembangunan yang tak pernah mereka biayai

Duduk dan nikmati sebelum kami berubah menjadi hantu yang mengaliri kursi dengan desis eksekusi
Yang kecewa pada senandung melayu dari mulutmu yang bau


Suatu Hari Suatu Pagi...Pada Selembar Hentakan Cahaya Beku...
Di kala-kala malam menjadi kalam dan sakral menjadi profan
Sejumput kenangan terbawa angin jalang yang melacur hingga sisi peradaban
Ditengahi lengking-ratap kesakitan
Pada bangsal yang tergeletak pasca anfal yang membikin mual

Hari ini semua manusia menjerit
Disaingi derit pintu kebenaran, semua nyawa minta didengarkan
Melalui bait-bait terkutip, melalui foto-foto bernada klise identik
Melalui situs pencahar bahasa yang mendengungkan desah menjadi propaganda

Hari ini banal dikonsumsi serupa nasi
Dan terus diungkit kembali, seolah tanggal ekspirasi menjadikan isi kaleng makin bernutrisi
Pada ayah ibu yang terpencar ditengahi anaknya,
Juga pada anak nirajar yang menjauhi akar sanak familinya

Esok, ketika rupa menjadi tua, dan salib memenuhi seluruh lipatan raga
Ketika jiwa dan raga hanya terikat sehelai bulu mata
Ketika berharap hanya sesingkat mengedipkan mata
Mungkin kita telah terlambat menyadari bahwa hidup tidak dapat dipercepat, tidak juga lamat

Esok, ketika fajar menyibakkan mata yang tertutup berhala
Ketika hari kemarin telah menjadi jauh lebih panjang dari jalan ke depan
Ketika meraba momen beku membuat mata tenggelam dan terpejam
Basi kita menyadari, bahwa hidup selalu tentang kurasi

Rotten Life, Rotten Apple
Drawing pen on paper, 15x15cm, 2007


Setiap Orang Bisa Jadi Cantik

Sementara majalah kecantikan membuat anda merasa buruk
Sementara mode membuat anda merasa miskin
Sementara anda memperhatikan noda di wajah lebih banyak daripada memperhatikan asupan gizi
Sementara kapitalisme membuat anda percaya lebih baik mati muda daripada menghadapi penuaan dini
Sementara ketidakpercayaan terhadap karma membawa anda kepada kekurangajaran berlebih
Sementara anda berpikir sudut depresi 45 derajat pada lensa membuat rasio wajah lebih menarik
Sementara "Reg (spasi)" menjadi kitab suci baru dan pegangan hidup
Sementara bioskop menjadi kardiogram kontemporer yang membuat anda yakin anda masih hidup

Setiap orang sudah cantik
Sementara diri sendiri yang membuatnya buruk

K.V

Selasa, Juli 07, 2009

Kisah Tanpa Jejak Pelaku



Mencoba menikmati saat-saat paling menenangkan di kosan. 24 Jam merasakan nikmatnya tidur. 24 jam lainnya menikmati saat bangun, bergantian. Udara dingin yang sama, suasana hangat rumah yang mungkin tidak akan pernah dapat diulang lagi. Di sela-sela kesibukan, memundurkan ingatan pada beberapa tahun ke belakang, saat pertama kali menginjakkan kaki di Bandung, sebagai calon mahasiswa Seni Rupa ITB dengan semua keegoisannya.

Juni-Juli-Agustus, dan lalu, hupla! Semua dimulai begitu saja. Tanpa pernah bermimpi untuk meraih sesuatu. Tanpa pernah bermimpi untuk menggenggam sesuatu. Tanpa pernah terpikir untuk meraih sesuatu. Tapi segala sesuatu itu harus dimulai untuk dijalani. Entah terpaksa, entah terjebak, entah terasingkan.

Dan sekarang kaki masih berpijak pada bumi Parahyangan. Kota tinggi dikelilingi bebatuan cadas dan pegunungan menjulang. Danau purba yang menyimpan banyak kenangan tak terlupakan. Hari-hari sebagai mahasiswa baru yang disepelekan, hari-hari anak bawang yang tidak dipercaya, hari-hari sebagai teman baru yang diacuhkan.

Membangun makna lain pada kata Bangun Pagi Enak dan Bocah Tengil. Ikut mencoba tersenyum pada Pocari Sweat, Eh Ikutan Yuk!, Potensi, dan puluhan lainnya. Terima kasih kalian yang mewarnai hidup kami. Tahun-tahun berlalu tanpa terasa, walau getir-pahit, asam-manis, riuh-denyut, dan besar-bangga menodai perjalanan yang tampak begitu saja ditarik oleh garis takdir.

Terus berjalan dan lalu, kembali pada titik nol. Karena hidup itu panjang, tapi tidak terbatas, seperti lingkaran, berputar dan terus berputar. Jauh, tapi tetap kembali lagi. Jauh dan lebih jauh lagi tapi tetap kembali. Sejauh-jauhnya mencari timur, barat lagi, barat lagi. Dan seperti mereka akan pergi, nampaknya, seperti itu pula mereka akan kembali.

Sabtu, Juni 27, 2009

"Facebook-'Like This' Campaign", Sebuah Abstrak Pernyataan Perupa Lainnya

sudah puas menodai wall orang-orang dengan jempol
pada ujung ibu jari mengangkasa
pada empat jari lainnya berbalik mengarah pada saya
dan kepalan yang tersisa pada wajah kalian

menyadari bahwa kalian bukan film
bahwa cerita kalian lebih bermakna
dari ratusan-ribuan keping dvd dengan banderol Roeper dan Ebert bajakan
bahwa setiap orang hidup dalam kesenangan dan kesedihan

bahwa setiap orang memiliki sudut kesendirian
yang tak dapat dimiliki orang lain
karena setiap individu berbeda pada pengalaman
teroksidasi pendidikan non-formal, non-mutual, dan non-ideal

tidak perlu mengalami hidup layaknya Nadja Halilbegovich
tidak usah menjalani hari-hari seperti Hersri Setiawan dan Jietske Mulder
karena pun kalian terbahak pada tulisan Raditya Dika karena ke-diri-an-nya sendiri
karena Pidi Baiq pun tidak takut berdiri dengan keanehan hidup apa adanya

karena manusia hidup sebagai percabangan kepentingan dan ideologi
bahwa kesukaan dimulai dari kesukaan pada tingkat kesamaan
dan akui saja bahwa perbedaan yang terjadilah yang menginspirasi kehidupan kalian
akui saja bahwa kalian selalu berusaha memperjuangkan kebedaan yang kalian miliki

bahwa kesamaan itu selalu menenangkan
bahwa perbedaan itu layak diperjuangkan
bahwa semua orang memiliki kesamaan dalam menginginkan kedamaian
tapi sering melupakan bahwa orang lain yang berbeda

saat satu-satunya kesamaan kita adalah perbedaan
lalu kalian tidak mengakui perbedaan itu dan berusaha menyamaratakan semua
maka kalian yang sebenarnya berbeda
dan mungkin kami yang sebaiknya meratakan kalian

mungkin sebaiknya saya mengakhiri semua pernyataan ini
pada buncah pikiran Jietske Mulder yang saya kutip:
aku merasa seperti sebatang pohon
kasar dan keras oleh angin
dan badai yang berkembang,
terbang bunga-bunganya
ditiup angin
dan buah-buahnya pun
terbuncang ...

terima kasih

Kamis, Juni 25, 2009

Susu Murni Nasional


Kali ini kita berangkat dari satu kata, kebodohan.

Kata temen gue, “Kalo lo make bahasa yang tinggi dan sulit, justru bakal bikin lo terlihat bodoh”.

Nggak merasa setuju tapi mencoba-coba buat setuju (karena gue juga ga begitu suka temen gue yang satu ini), maka ijinkan gue untuk bermanuver dengan bahasa-bahasa akrobatis. Sekedar ingin melihat seberapa keren kebodohan gue. Ebiet G. Ade juga toh pernah menggumamkan tentang manusia yang sering bangga dengan kesalahannya.

Eh, iya, jangan pernah percaya kalo yang gue tulis sebagai judul itu selalu berkaitan dengan isinya. Mungkin iya, tapi lebih sering nggak. Karena beberapa orang percaya, memikirkan judul membuat kita gagap dalam bercerita. Dan kayaknya gue salah satu dari mereka.

Mungkin ada yang nggak setuju dengan kata-kata gue, tapi gue juga nggak peduli. Karena gue nggak pernah maksa mereka untuk peduli jadi buat apa mereka maksa gue peduli pendapat mereka. Apalagi gue nggak tau siapa mereka, jadi buat apa mereka sok tau siapa gue?

Kami nggak beda. Jadi apa yang bikin kami beda?

Nggak ada. Kalaupun ada itu sekedar kelakuan kami untuk melakukan hal yang berbeda dari orang lain.

Nasionalis kah kami?

Siapa yang tau? Raden Saleh Sjarief Boestaman aja masih dipertanyakan soal nasionalismenya. Dia itu orang Indonesia yang terlalu lama di Belanda. Dan kami? Siapa pula kami? Kami orang-orang kelahiran Indonesia dengan budaya campuraduk. Individu multikultur yang banyak disuapi ikon global tanpa logos terjejal. Identitas kami lebih layak untuk dipertanyakan ketimbang angkatan kami yang ikut-ikut memperdebatkan apakah Raden Saleh Sjarief Boestaman nasionalis atau nggak.

Oke, kita mulai lagi tulisan tanpa ujung pangkal ini.

Sebenernya udah dari tadi.

***

Dulu gue nggak suka minum susu, tapi sekarang, jangan tanya. Nah, cerita satu ini adalah pengalaman di saat gue masih labil, masih bersikeras bilang ga’ doyan susu tapi tetep berangkat sekolah dengan berat hati kalo pagi nggak minum.

Kelas 3 SD, rumah lama gue dipake juga sebagai tempat kost khusus cewe. Kebanyakan yang nge-kost tuh pengajar di ILP (jadi tau kan asal muasalnya bahasa Inggris gue yang amburadul ini?). Dan suatu waktu yang nge-kost bukan orang Indonesia pengajar bahasa Inggris, tapi orang Amerika berbahasa Inggris belajar Indonesia.

Suatu pagi sebelum berangkat sekolah, gelas susu gue udah kosong padahal belum sempet gue minum. Ngeliat si bule berdiri di depan pintu halaman, bikin gue berprasangka ke doi. Dengan yakinnya gue nanya apa doi yang minum tuh susu gue, dan doi bilang nggak. Gue certain masalah barusan ke nyokap gue, eh malah gue yang dimarahin. Nggak sopan katanya. Tapi kalo dipikir-pikir mending tanya langsung daripada mendem gondok ternyata salah orang. Tapi itulah mungkin budaya éwuh pekéwuh a la Jawa.

***

Ngomong-ngomong soal rumah gue yang dulu, ada satu cewe yang paling awet nge-kost di sana, namanya Dianti, alias DJ. DJ bukan profesinya dia, cuma nama panggilan. Soalnya tanda-tangannya kalo diliat sekilas, kebaca kayak DJ. Ga tau betah atau males, yang jelas dia baru memutuskan untuk pindah waktu rumah itu dipugar. Yang tentunya gue sekeluarga juga harus ikut pindah ke rumah gue yang sekarang ini. Yah, toh itupun juga bukan rumah keluarga gue.

Mbak DJ ini orangnya rame, mau jam 11 malem juga dia masih aja rame. Nggak ada orang dia juga tetep rame. Waktu henpon blom se-bérécét sekarang, tangga besi di samping kamar gue selalu bergemuruh setiap kali nyokap habis teriak “DJ!”. Apapun itu lah, tapi heran, kalo udah jam 8 biasanya tiap kali telpon rumah bunyi, selalu lanjutannya teriakan, “DJ!”. Kalo sekarang dipikir-pikir lucu juga kalo didenger sama tetangga. Mungkin salah satu dari mereka dulu pernah ada yang komentar, “Wah, keluarga si Koko okem betul yak!”.

Gue sering pinjem komik-komik Misurind jadul punya dia. Dari macem-macem judl yang gue pinjem, yang paling gue inget ya Hoem-Pa-Pa, komik paling tolol, tentang jagoan Indian bongsor (kayaknya sih suku Mohican) yang temenan sama orang Amerika. Detil ceritanya gue lupa, tapi kalo dibandingin sama Asterix & Obelix, Hoem-Pa-Pa lebih ngocok. Bertaburan panel adegan nggak penting, seolah ketidak pentingan itu wajar. Terselip di antara detil latar, ekspresi, ucapan, tingkah laku, hingga plot cerita. Like this!

Punya pengajar les bahasa Inggris di rumah = punya game-objective’s translator, apalagi kalo RPG. Haha. Gue emang bodoh dalam hal memanfaatkan potensi orang secara maksimal, sekaligus paling pinter mengerjakan hal-hal ga penting.

Nah, sekarang gue udah kuliah, dan dia sudah menikah. Selamat ya Mbak, tahniah kalo kata orang malingsiah.

***

Dan tadi malem gue ngimpi keren. Di mimpi itu gue mainin bagian drum dari suatu lagu pake sendok dan garpu plastik diketokin di meja. Masuk ke bagian synth ada Cadut, pake (semacem?) kibor biru kecil dari jelly dengan tuts transparan warna-warni. Di bagian vokal ada Danu (yang ketua angkatan), tapi dia nggak nyanyi vokal itu keluar dari buku dongeng buat anak kecil yang dia bawa, yang kalo dipencet ada suaranya. Anak-anak yang lain muncul satu-satu dari tirai hitam dengan hiasan kain emas bermotif di sekeliling kami, trus ikutan képrok, foto-foto, nyanyi, joget. Kobé lah pokokna mah.

Bingung?

Namanya juga mimpi.

Masuk penghujung lagu, gue mulai sadar. Dan waktu lahnya beres saat itulah gue 90% bangun. Aduh, sial. Gue liat komputer gue dan di Winamp gue buka file info lagu itu karena mata gue masih burem. Trus gue berharap tidur lagi, lanjut mainin lagu berikutnya. Tapi ternyata nggak bisa. Sial.

Coba cari albumnya Flaming Lips - Yoshimi Battles the Pink Robots trek nomer 7, Are You a Hypnotist. Udah? Itu lagu yang masuk ke mimpi gue. Dan sebenernya semua suara di situ produk synth semua. Jadi aneh juga kalo gue main drum. Lebih anehnya lagi, lagu aslinya sama apa yang gue inget dalam mimpi sama persis (kecuali di bagian fade in sebelum reverb drum di awal) termasuk bagian nada sumbang yang di mainin Cadut atau roll aneh yang gue mainin. Semua yang bisa gue inget, bahkan 12/12 (udah nggak 11/12 lagi).

Herannya, di mimpi kayaknya beneran kami yang mainin. Visual sama beat itu 100% klop. Roll sama reverb di bagian drum nyambungnya edan. Kerasa kaya emang suara itu muncul karena gue mainin, ga kerasa kaya lagi denger suara spiker komputer dan terus kita berusaha nyesuain beatnya. Kayak kita bisa ngeramalin beat 2-3 detik di depan. Freak.

Jujur aja gue nggak banyak melakukan akrobat bahasa. Tapi apa kalian sudah merasa bodoh?

Sabtu, Juni 13, 2009

Metafor Kostum: Suatu Teori Retoris

Avant-Propos:
Pemikiran ini dimulai di WC seni rupa samping ruang seminar. Di saat tangan kanan sedang rileks dan tangan kiri sedang bersiap pada hal selanjutnya. Itu kalau menurut pendapat temen gue, Zaldy (yang nggak pernah di tes kebenarannya secara sah dan laik). Dan kata dia juga kalau dalam momen ini otak berada pada tahap paling inspiratif. Atau mungkin dalam tataran bahasa yang lain, psikologi seni seni misalnya, hal ini dijelaskan sebagai regression service of the ego yang menjelaskan tahap inspirasi seorang seniman, untuk membedakannya dengan orang dengan keterbelakangan mental (Bu Irma, bener nggak nih Bu?).

Hoek, jorok!

Nutrisi kompleks pada kedua hemisphere otak mulai melantur pada gelombang lamat-panjang. Melihat celana yang tergantung mengingatkan gue pada Clark Kent yang berganti baju secepat kilat pada sembarang boks telfon di metro (heran bajunya nggak pernah sekalipun rusak). Bukan merek baju tangguh itu yang akan gue bahas. Bukan pula perihal celana dalam salah pasang. Tapi sesuatu yang lebih dalam, makna lain yang tersembunyi di balik kostum itu. Hal yang secara khusus juga terjadi pada Peter Parker, Bruce Wayne, Barbara Gordon, Dinah Lance, Dick Grayson, Jason Todd, Tim Drake, Stephanie Brown, Damian Wayne, dan entah siapapun itu (karena gue cuma pernah baca via wikipedia).

Dimulai dari satu kata kunci: kostum, yang tiba-tiba terlintas saat gue ngegantungin celana. Berlanjut pada rentetan pertanyaan semrawut:
Ada apa dengan kostum itu?
Kenapa mereka berkostum?
Apa arti kostum tersebut bagi orang-orang di sekitar mereka?

Alasan "pra-sejarahnya" sih lagi-lagi berangkat dari semangat amerika yang terbuai heroisme pasca kemenangan mereka di PD II. Sadar nggak kalo kebanyakan warna kostum superhero di awal terutama yang jadi maskot, itu didominasi merah, biru, dan putih? Tapi (entah pernah ditulis sebelumnya atau belum gue ga peduli) akhirnya gue terjebak dalam pendapat konyol. Gue nganggep yang bikin kostum tuh si tokohnya, bukan pengarangnya. Selanjutnya gue menitik beratkan kostum pada permasalahan topeng. Maka gue menerima beberapa hipotesa, bahwa mereka berkostum karena alasan:
1. Takut,
2. Low profile,
3. Terlihat keren,
4. Nggak pede-an,
5. Pelampiasan alter ego.

Apapun itu lah ya...

Sebenernya apapun alesan pra penciptaannya, tapi toh perjalanan cerita (akhirnya) menjelaskan bahwa kostum itu melindungi orang-orang di sekitar mereka. Alasannya sederhana, kostum itu adalah topeng. Akhirnya yang gue maksud topeng di sini ga cuma sekedar suatu lapisan yang berfungsi menutupi wajah. Lebih dari itu topeng menutupi seluruh kepribadian si karakter.

Person yang kalau disandingkan dengan bahasa Indonesia sepertinya cocok dengan kata orang, atau yah, sesosok pribadi (dengan kepribadiannya), akar katanya dari persona. Arti persona sendiri ada beberapa:
1. Karakter yang dimainkan oleh seorang aktor,
2. Peran sosial, atau yah (maaf lagi lagi),
3. Topeng (makasih buat mas Wiki).

Duh, sialan. Akhirnya gue kecemplung dalam kasus etimologi bahasa. Tapi, mari persilakan gue bersikap sok seniman dalam mengerucutkan permasalahan secara sepihak. Maksud gue kostum akhirnya menjadi penanda kemunculan alter ego dari tokoh komik tersebut. Sebutlah si alter ego di sini merupakan sosok pahlawan bagi banyak orang. Misalnya Robin yang merupakan alter ego Tim Drake. Tapi dalam cerita ini, berapa banyak orang sih yang tahu kalau Tim Drake itu Robin the Wonder Boy?

Pertanyaan tadi akhirnya membawakan jawaban pada tiga pertanyaan sebelumnya. Tanpa kostum, Tim Drake yang beraksi di tengah malam akan hidup dengan ketakutan keesokan siangnya, saat dia sadar super villains yang dia ringkus semalam akan menuntut balas. Ah, tapi sayangnya Tim Drake dan penerusnya toh juga mati pada akhirnya, meninggalkan Bruce Wayne yang secara ajaib terus abadi ditemani Alfred Pennyworth dan Lucius Fox. Oh iya, tolong kesampingkan kasus karakter komik amerika yang selalu saja hidup lagi, berapa kalipun dia dibunuh dan diberitakan mati.

Keparat!

Tapi ayo lanjut. Semakin sedikit orang tahu identitas asli Robin, semakin aman pula orang-orang yang dekat dengan kehidupan Tim Drake. Kenapa? Coba ingat film-film india di mana entah ada berapa banyak Inspektur Vijay yang harus kerepotan membebaskan keluarganya dari cengkraman musuh. Satu hal yang pasti (selain jangan berikan anak kalian nama Vijay kalau kalian mau hidup tenang di hari tua), bahwa kostum itu juga melindungi identitas orang-orang terdekat si pahlawan. Katakan Matt Murdock sedang bersembunyi di amazon, maka akan mudah memancingnya keluar dengan menyandera (mungkin) tetangganya atau salah satu klien favoritnya. Apalagi di zaman modern seperti ini, di mana semuanya bisa di-googling. Nah, sekarang kita sedikit mengerti kenapa Bruce Wayne itu playboy.

Tuas diturunkan, dan air menggelontor seluruh isi jamban. Hmmm, sepertinya cukup sudah pemikiran malam yang melantur ini. Tolong jangan bantah teori gue, karena gue egois. Lagian gue juga udah bilang teori ini retoris.

Jumat, Juni 12, 2009

Kilometer Tanpa Ujung di Titik Nol

Saya tidak tahu sebanyak apa orang yang menganggap saya kawan.
Saya tidak peduli kalian peduli pada saya atau tidak sama sekali.
Tapi saya mengkoptasi kalian kawan saya, saat kalian peduli pada sesama kalian.

Saya tidak mengenal politik tapi saya inginkan revolusi.
Saya tidak peduli apa kalian mengenal politik atau tidak sama sekali.
Tapi saya yakin revolusi untuk membenahi dunia ada bersama tiap kebaikan yang kita berikan.

Saya bukan pejuang dan hanya sanggup bermimpi.
Saya tidak juga memaksakan mimpi saya pada kalian.
Tapi ternyata hal itu menjadikan diri saya bermanifes dalam pikiran kalian.

Saya tidak dapat banyak bicara tapi saya bisa tersenyum.
Saya tidak keberatan jika memang kalian pemurung atau pencemburu.
Tapi kalian pasti lebih memilih untuk membeli senyuman saya daripada kepalan tangan mereka.

Saya tidak peduli kalian memikirkan saya atau tidak.
Saya tidak membutuhkan eksistensi seperti itu.
Tapi banyak hal baik dimulai dari satu pikiran baik dan saya sedang bernyanyi di dalamnya.

Saya malas mengakuisisi konklusi dalam tulisan ini.
Saya juga tidak berniat menjastifikasi nilai moral apapun.
Tapi sepertinya kalian akan kembali pada judul untuk menemukan apa tujuan saya.

Nasi Goreng Aneh...

Setelah menurunkan karya-karya pameran ArtProprietor dari galeri C.M.N.K; gue, Magi, Majong, Danuh, plus Aul makan di kedai (kedai~, bahasa taun kapan nih? hahaha!) Rupa Rasa, Cigadung. Danuh, Magi, Majong milih nasi goreng oriental. Gak mau dibilang sama, gue minta nasi goreng nanas. Tapi Aul keburu dateng dan mesen nasi goreng nanas juga.

Shit!

Makan dengan sisa dana yang kami terima. Oke, itu baru yahud. Gak perlu Sushi Tei, karena kami tahu itu mahal.

Kembali ke mobil saat perut sudah kenyang. Apa yang akan kami bahas malam ini? Nggak ada? Nggak juga. Ternyata kami membahas pacar teman kami yang tidak lain masih teman kami juga. Bukan, bukan masalah dunia ini sempit, bukan juga teman kami terlalu banyak. Bahkan salah kalau pertemanan ini efek jejaring sosial serupa fesbuk, plurk, twitter, atau apapun itu namanya.

Intinya mantan dari pacar teman kami itu kecewa berat setelah mantannya jadian lagi. Perlu diketahui mantan pacar teman kami itu bukan teman kami, tapi kami hanya mendengar kabar, dan sekarang gue certain buat kalian. Bingung dengan logika bahasa gue? Oke, gue nggak peduli.

Si mantan diputusin gara-gara nggak seru (ah, alasan apaan tuh?). Si mantan terlalu sabar ceritanya. Dan si pacar baru emang nggak bisa dibilang baik-baik juga sih. Tuk-tuk berceletuk, kami mulai angkat bicara saling menimpali, hingga:

A: “Jadi cowo terlalu sabar, diputusin gara-gara nggak seru.”
B: “Sulit ya?”
A: “Jadi cowok urakan diputusin karena nggak pernah perhatian.”
C: “Sepakat!”
A: “Jadi cowok ganteng, ada selingkuhan.”
C: “Hehehe.”
A: “Blah! Cewe bilang cowo susah dimengerti.”
B: “Begitu pun sebaliknya.”
C: “Cowo bilang cewe susah dimengerti.”
A: “Tapi kalo cowo udah frustrasi, cowo jadi bilang cowo susah dimengerti.”

Lalu kami tertawa merespon kata-kata barusan. Kata-kata yang mungkin kalian nggak paham di bagian mana lucunya. Yah, memang nggak lucu. Tapi satir.

Sabtu, Juni 06, 2009

Tertawa Harusnya Membudaya, Bukan Sesuatu Yang Terjadi Karena Dipaksakan, Apalagi Garing.

Itu Avant-Propos yang merangkap judul.

Badan meriang karena kebanyakan begadang. Hari ini gue ketiduran hampir sebelas jam. Dan bukan ketiduran lagi pastinya. Rencana mau balik ke kosan dan menikmati malam. Biar komputer sedang rusak, tapi yang penting bisa menyemarakkan kasur yang menurut gue paling nyaman itu.

Baru banget gue bangun tidur Iqi sms. Ujung-ujungnya ya sms gue pada jam 18:36:23 tertanggal 6 Juni 2009, yang berbunyi:
Oh, nitip makanan apapun lah Qi, yg ptg nasi. Tnx bgt.

Ke toilet, pas balik ketemu Bonggal, ngobrollah kita. Kebetulan gue lagi masak air maka gue tawarin dia kopi, tapi dia nggak mau. Jadinya gue tawarin dia susu, dan dia mau. Ya, sebaiknya anak grafis memang selalu sedia susu, karena menetralisir atau seenggaknya mengurangi racun yang masuk ke tubuh. Ah, menunggu air mendidih, gue ngeluarin gelas dari loker, tak lupa sambil kami mengobrol dengan kesibukan sampingannya sendiri.

Menurut takaran di pouch susu itu, satu pouch bisa untuk 5 gelas susu, tapi gue rasa gue dan Bonggal agak sedikit serakah. Dua gelas untuk kami berdua dan apa yang tersisa hanya tinggal sekitar 1/5 volume awal.

Air dituang. Diaduk. Tapi nggak bisa langsung diminum. Nyante lah. Lima menit kemudian: "Wah, bwajingan 'i! Nduweku manis banget 'e. Yen aku we semene wis manis opo meneh sing kowe."

Itu dia Bonggal. Apa yang dia maksud adalah, susu yang dia buat itu udah manis banget (jelas, volume air dengan susu aja nggak sepadan), apalagi punya gue. Yang tentu saja lebih banyak dari dia. Tapi, iyakah?

"Hmm, enak."

"Wah, 'po iyo? Wah, yen aku pancen 'ra seneng yen legi banget. Mbleneg!"

Nggak lama Iqi datang. Ternyata Bonggal pun menitip makanan. Gue bayar, Bonggal bayar, Iqi ngasih kembalian, dan makanlah kita. Tidak lama Magi datang dan makan pula dia. Kami makan sambil lagi-lagi tertawa, menertawakan diri sendiri dan orang lain. Hari ini jarang ditemukan orang tertawa, jadi mumpung sempat kami yang menertawakan mereka, tertawa untuk mereka, dan tertawa pada mereka.

Dan waktu gue liat note kapur yang gue tinggalin kemarin, ternyata bunyinya udah berubah, dari yang tadinya:

Boleh gagal tapi jangan lupa dibersihin lagi! Jangan kebiasaan nyisain tinta!

menjadi

Boleh gagal tapi jangan lupa dibersihin lagi! Jangan kebiasaan nyisain cinta!

Oke juga tuh...

Jangan paksa kami melakukan hal yang akan kami sesali.
Karena setiap detik dalam hidup ini merupakan garis demarkasi.

If You're a Printmaker, Act Like One...

Avant-propos...

Mulai mengisi kertas canson A3 kosong dengan goresan pensil. Mencoba memuntahkan apa yang sudah gue cerna. Dan nggak bisa. Mual ini nggak tertahan lagi. Akhirnya gue mencoba berkeliling studio. Dan di salah satu easel gue nemu tulisan dengan media kapur: gagal!!!

"Wanying! Apa-apaan si nih?"

Gue baca tulisan itu sama temen gue yang lain, yang kebetulan lagi ada di situ. Penasaran dengan apa yang bikin gue komen kaya gitu, dia langsung nyari tau (dan akhirnya tau).

Anak ini (yang nulis) lagi ngerjain karya grafis dengan teknik konvensional tentunya. Asumsi dasar yang gue pegang kalo dia sampe nulis kaya gitu, berarti: terjadi kesalahan teknis dalam pengerjaan plat, atau faktor lain di mana karya gagal untuk dijadikan edisi (minimal berdasarkan tuntutan kuota pribadi).

Satu-satunya cara untuk memastikan apa yang dia maksud lewat tulisan itu adalah dengan ngeliat hasil cetakannya itu sendiri. Akhirnya berdua kami nyari karya yang lagi dia kerjain. Ketemu, dan baru kami mulai menganalisa.

Cetakan pertama:
Gue: "Hah?"
Temen gue: "Lha, ini apanya yang gagal?"
Gue: "Hmm..."
Temen gue: "Oh, platnya kebalik ya?"

Cetakan kedua:
Temen gue: "Lha ini biasa aja..."
Gue: "..."

Cetakan ketiga:
Temen gue: "..."
Gue: "..."

Cetakan keempat dan seterusnya:
Gue: "Ya, ya, ya..."
Temen gue: "Oke, oke... Gak usah ditanyain lagi lah ye..."
Gue: "Ah, norak amat! Mau dia jago kayak apa juga sama aja boong kalo kayak gini. Namanya printmaker ya harus proofing lah. Gaya amat nggak pake proofing."

Anak ini ngerjain edisi dengan teknik yang bikin dia harus 'ngerusak' plat untuk nyetak warna yang baru. Artinya, dia nggak mungkin nyetak warna sebelumnya lagi. Dari apa yang gue liat, masalah ada di setting mesin press, yang miring sebelah. Tapi herannya kenapa sampe harus gagal sebanyak itu baru dia nyadar letak masalahnya (atau cara ngakalinnya).

Tapi yang bikin gue paling jengah waktu liat roller, papan press, sama batu litho yang dipake buat nyampur warna semuanya serba biru. Shit! Ya, emang nggak biru-biru amat, tapi biar dikit juga kalo tinta masih nyisa di alat gitu efeknya malah nggak akan bagus. Bikin semua nggak akan bener.

Silakan deh sebut gue sok seniman auratik yang salah zaman, sok perfeksionis atau apapun. Tapi gue nggak peduli. Soalnya ga mungkin kalo yang ngomong gitu tau cara ngejaga kebersihan. Waduk (bohong) lah!

Gue nggak tahan ngeliat semuanya. Tapi gue juga males ngebersihin. Batu litho tempat nge-roll tinta itu kotor, penuh nuansa biru. Sejaman-jaman batu litho nggak pernah sampe segitu joroknya. Cukup tau aja dah. Ngehe!

Akhirnya gue minta tolong temen gue buat ngangkat papan press dan kami ngebersihin bedua doang malem itu. Gue semprot roda-roda, baut, as roller, sama joint mesinnya pake WD40 plus diminyakin lagi. Apa boleh buat lah...

Atas apa yang gue rasain malem ini dan apa yang gue alamin, gue akhirnya memutuskan buat nulis note agar semuanya bisa baca, plus satu tulisan kapur lain di bawah tulisan temen gue itu (tapi gue males nulis lagi).

Pesan Dari Conrad...

Mesin cetak itu adalah teman kita yang terbaik.
Mereka ada bahkan sejak jaman dosen-dosen kita masih kuliah.
Mereka masih bisa bekerja dengan baik.
Jadi jangan salahkan mereka untuk kegagalan yang kalian terima.

Memang umur mereka sudah tua.
Tapi mereka masih dapat mengerjakan tugas mereka.
Memang mereka sudah renta.
Tapi mereka tetap labih dari sekedar onggokan instrumen besi belaka.

Mereka masih setia menemani kita di setiap waktu.
Di setiap tengat semester, di sepanjang tahun sejak kita masuk hingga nanti kita beranjak dan mungkin kembali lagi.

Kita membutuhkan mereka, begitu pula adik-adik kita nanti.
Mungkin juga kalian di suatu kesempatan lain.

Mungkin kalian nanti bisa dengan gampangya pergi meninggalkan mereka tanpa pamit.
Tapi bagaimana dengan adik-adik kita yang belum mengenal mereka.

Adalah kewajiban kita untuk mewariskan jiwa.
Adalah keharusan kita berbagi nyawa.

Bahwa proses berkarya merupakan suatu ritual.
Bahwa setiap peralatan yang kita punya merupakan modal.

Sadari keberadaan mereka di sana sebagai anugrah atas kekurangan kita untuk memiliki.
Sadarilah bahwa mereka merupakan akses menuju kemudahan, walau jangan pula sampai terninabobokan.

Rawatlah mereka, peliharalah mereka, bersikap baiklah pada mereka.
Atau setidaknya mulai dari bertanya "di mana letak kelalaian saya?"
Setiap kali hasil cetakan yang kita terima tidak sesuai dengan apa yang kita harapkan.
Karena adalah bodoh untuk memaki mesin yang tidak bernyawa.

Karena setiap hal kecil dalam instrumen grafis menentukan hasil akhir karya.
Karena satu kelalaian berpotensi pada kegagalan sia-sia.
Karena bukan tangan kalian yang mengaplikasikan tinta.
Karena bukan karena kecerdasan kalian hingga warna itu ada.

Karena seni grafis adalah ars multiplicata.
Selalu persiapkan diri sebelum berkarya, dan jangan pernah kehabisan tenaga sebelum semua kembali seperti sedia kala.
Selalu lakukan uji coba sebelum akhirnya beranjak pada edisi pertama.
Selalu jajarkan setiap cetak karya agar kalian tahu letak kekurangannya.

Saat semua orang mendewakan kemudahan dan melarikan diri pada era digital.
Bukan merupakan kutukan jika kita harus memahami teknik konvensional.

Karena langgam dan instrumentasi setiap studio berbeda.
Dan dalam studio kita, berbagi merupakan irama tanpa jeda.

Untuk semua alat yang ada di sana adalah hak kita untuk menggunakannya tanpa kita harus membeli
Jadi selalu bersihkan mereka kembali seperti saat sebelum kita gunakan
Jika alasan digunakan orang lain menjadi pembenaran kalian enggan membersihkan dan duduk berpangku tangan
Maka ucapan terimakasih pertama selayaknya dilayangkan pada kalian untuk setiap keberhasilan dan jerih payah adik-adik kita mendatang.

Akhirnya, seperti apa yang tertulis dengan tinta merah pada mereka untuk kalian ingat:
"Mencetaklah sepuasnya, setelah itu bersihkanlah sebersih-bersihnya."
Karena itu semua bukan pajangan belaka.
Maka, saat kalian berada pada lantai grafis, bersikaplah selayaknya seniman grafis.

Kamis, Juni 04, 2009

Mereduksi Kebosanan

Menulis lagi.

Oke, apa yang anda, eh, maaf, elo harapkan hari ini? Gue mengharapkan hari ini berjalan lucu. Ha. Sebenarnya jujur aje dah, gue punya tugas kritik seni yang harus dikerjain, tapi setelah 3 jam nggak jelas di depan komputer, gue memilih untuk onlen dan menggampar dunia maya. Lalu, voila! Nikmati saja.

Apa yang lo pikirkan kalo menghadapi kata PAPAN KENYATAAN? Tadi malem Iqi nanya itu ke gue, Danuh, Arif, dan Aul. Di sela-sela tawa sebagai pertanda ketidakseriusan kami dalam mendisplay pameran di CMNK untuk malam ini.

Jawaban gue? Papan MDF buat alas gambar.
Danuh? Papan skor pertandingan sepak bola.
Arif? Arif nggak jawab, keburu tua, jadi akhirnya gue dan Danuh yang mengutarakan isi hati Arif untuk menjawab pertanyaan ini. Suatu hal yang tidak akan pernah sempat ia sampaikan sampai akhir hayatnya. Tenang Rip, kami masih peduli padamu sampai kapan-kapan.
Aul? Gue lagi di WC waktu Aul ngejawab. Bukannya Aul nggak penting, tapi apa yang udah berada di ujung tanduk adalah yang paling penting.

Lalu apa sebenarnya makna papan kenyataan itu? Ternyata menurut cerita Iqi, itu adalah bahasa Malingsia untuk papan pengumuman. Astaga! Dan mulailah kami kembali mengigau.

"Sekolah di Sekolah Menengah Nyata."
"Periksa ke klinik dokter nyata."
"Jadi kita harus naik angkutan nyata."
"Hidup di dunia umum."
"Hal-hal nyata dan tak asing lagi."

Ya, ya. Keumumannya kami memang tertawa dengan tidak jelas tadi malam.

Rabu, Mei 20, 2009

Garis Demarkasi

Mengisi kekosongan ruang dan waktu di kepala. Lalu setelah penuh membuangnya. Dan apa yang gue lakukan sekarang adalah membuang sedikit dari kepenuhan itu.

Setelah beberapa hari belakangan ini gue skip beberapa detik dari detak jantung normal gue. Yeah, gue merasakan gue masih hidup. Ada akibat dan ada sebab. Maksud gue, gue sendiri nggak tau apa yang lagi gue pikirin. Ada sih, tapi...

Di sela-sela kegelisahan TA yang gue rasakan (entah itu beneran gelisah atau beneran males) gue nggak menemukan satu saat terkecilpun dalam hitungan nanosekon untuk menghingar-bingarkan kepala ini dengan medium distorsi lain.

Setiap orang ingin berbicara. Setiap orang butuh bicara, dan apa yang gue tulis di sini sekarang emang merupakan produk pikiran dengan justifikasi pribadi. Jebolan paragraf berlabel ego, mungkin. Nggak bener-bener jebolan, karena ada hal-hal yang emang harus ditahan untuk tidak dikeluarkan. Hal-hal personal yang nggak akan dipahami orang lain. Dan jika orang lain bertanya dan memberikan argumen seolah hal-hal pribadi tersebut adalah konsep dan harus dilacak kebenarannya seperti menggali liang kubur pada teritori literatural lawakan. Katakan saja "fuck you!" pada mereka tanpa perlu mengacungkan jari tengah. Oke, mungkin pendapat gue ini salah, tapi gue rasa juga nggak terlalu salah. Coba pikirkan, kalo lo memiliki satu masalah, mungkinkah lo ngebiarin semua pendapat masuk tanpa tersaring seolah semua itu penyelesaian?

Jadi gue nulis apa?

Tau...

Sudah tenggat waktu dan beberapa karya harus gue beresin. Titipan kepentingan orang-orang yang berkepentingan, pada koptasi modernisme yang menghadirkan kebutuhan pribadi yang tidak dapat dibantah. Mereka "autis". Dan lalu gue yang mengangkat mereka menjadi selebritas baru. Nggak bener-benar selebritas, karena seperti program sejenis Cek en Ricek, setiap selebriti digoreng dahulu dalam minyak "kasus". Baru setelah itu mereka dilemparkan pada publik. Seolah mereka harus bertanggung jawab pada dunia yang menyaksikan mereka, sadar atau tidak, atas "kesalahan" yang mereka lakukan.

Maka, siapa penjahatnya? Hahaha, tidak ada penjahat yang menjadi penjahat untuk menciptakan kebaikan. Mungkin karena saat seseorang mengangkat topiknya dari kesalahan orang lain, dia menjadi penjahat. Atau mungkin saat satu jari kita menunjuk pada orang lain, tiga jari yang lain mengacung pada diri kita, dan jari yang lain menghujam entah siapa dan kemana, menciptakan korban berikutnya. Perjalanan panjang rantai penyaliban yang tak dapat kita koyak. Apapun filosofinya, keadaan ini tanpa solusi.

ketika 145 menjadi embrio untuk memori yang memuakkan, maka mereka tidak lagi dapat dimaknai sebagai suatu angka. Sama saja seperti Re, lalu naik menjadi Do pada oktaf ke dua dan turun satu not dalam dua ketukan berikutnya. Tidak ada lagi makna pada ringtone pentatonik.




Senin, Februari 02, 2009

Jurnal Senirupa...

Sedang bosan di studio jadi pulang ke kosan. Bukan karena ada pengumuman yang menginap diberikan sanksi dan akan diproses (menurut hukum pak dekan). Menutup mata sejenak, dan la voila! Ternyata tidak sejenak.

Oakley. Mari sejenak kita tinggalkan segala basa-basi. Selamat datang di era kontemporer, dimana semua bisa menjadi mungkin. Ahey.

Kebosanan mulai menerawang di dalam kepala sejak detik kesekian setelah mata terbuka penuh, yang berarti beberapa puluh menit sejak resonansi otak tidak lagi berada dalam wilayah gelombang beta.

Nyalakan komputer, dan ternyata ada banyak folder dokumentasi yang masih perawan. Alih-alih mandi, semburat warna imajiner dari adop fotosyop memanggil raga untuk duduk kembali di atas tempat tidur.

Yak, selamat! Anda akan melewatkan waktu yang panjang dalam posisi seperti itu.



Mau liat karya lainnya? Ini ada link via fesbuk. Artinya kalian harus login dulu untuk bisa melihatnya. Maaf yah, kalau gue tidak jago dalam hal leyaut blog.

Awalnya photo editing ini bisa terjadi karena ingin mempublikasikan beberapa kegiatan berbau kampus seni rupa ITB yang pernah gue dokumentasikan. Tanpa ada keinginan untuk menampik anggapan si bapak dekan bahwa mahasiswa seni rupa banyak melakukan hal yang tidak berguna khususnya malam hari. Tapi seandainya beliau tetap berpendapat seperti itu ya itu sah-sah saja, toh gue nggak akan meminta maaf. Lagipula mau dan cenderung tidak mau, beliau yang sekarang ini tetap dekan fakultas seni rupa ITB. Setidaknya dia masih mau bilang sayang, bangga, dan cinta kepada kami para mahasiswa yang kurang ajar ini, walaupun hanya sebatas dalam pembukaan pameran. Dasar kami mahasiswa tak tahu diuntung, air susu dibalas air tuba.

Tuhan maafkanlah kami.

Seiring proses, ada rasa tidak tega jika melihat foto-foto tersebut muncul hanya sekedar dokumentasi acak. Akhirnya dengan ditambah beberapa sentuhan dijital lainnya, muncullah suatu bentuk kampanye seni rupa 'art is fun, find art' (perhatikan tulisan-tulisan tersembunyi pada sebagian besar foto). Kira-kira, setidaknya seperti itu.

Slogan 'find art' sebenarnya plesetan dari kata 'fine art', yang kalau dalam bahasa Indonesia berarti seni murni. Hmm, jadi agak aneh kalo mikir percakapan:
"Hi! how are you."
"I'm fine thank you."

Bukan berarti gue lagi melacur sebagai desainer, bukan. Lagian kaya lirik lagunya Titik Puspa yang dicover Peter Pan, Kupu-kupu Malam: "dosakah yang dia kerjakan, sucikah mereka (client) yang datang". Well, I'm not sure if some client are clean, and apparently they not come for cleansing. Untungnya karya ini dibuat bukan karena alasan klien.

Oke, dank u!

Special thanks buat Tommy A.P atas tambahan foto-foto di pameran Ideocrazy.

Senin, Januari 26, 2009

Keajaiban (keanehan) fesbuk II

Membuka-buka internet lagi. Mencari referensi. Nah loh, apa tuh. Angka satu di balon merah pada pojok kanan bawah. Ha. Calon ngaco nih halaman.

Jadi males nulis. Kenapa ya? Mungkin karena di luar sedang hujan. Eh, Beruang kan berhibernasi lho kalo musim dingin. Jadi karena gue juga mau beruang, gue sewajarnya harus berhibernasi di musim hujan. Hmm.

Keajaiban (keanehan) fesbuk I

Setelah kesekian kalinya mengutak-atik fesbuk akhirnya gue ngerti kenapa jaringan pertemanan di dunia ini mengalahkan frenster, atau multiplai . Yah, masalah orang-orang umay kita kesampingkan lah. Rahasianya adalah sistem tabulator (tab) yang bikin pemuatan konten di web ini lebih cepat daripada web kebanyakan. Dibilang minimal nggak juga, tapi efisien iya.

Pemilihan warna dasar biru putih yang khas kayaknya juga ngaruh. Nggak akan bikin orang jadi ngoyo atau gimana. Lucunya, warna dasar yang sampe sekarang blom bisa dikostumisasi secara personal ini membuat fesbuk terasa lebih segar bin elegan buat kebanyakan orang. Lebih dari sekali gue denger anekdot yang berbunyi "Ya kalo buat kita yang udah gede mah pake fesbuk aja, frenster udah aja buat bocah-bocah yang lagi belajar gaul pake html." Lha?

Asiknya lagi, ada sistem notification pada setiap tab atau jendela fesbuk. Jadi tiap ada yang ngasih konten baru yang punya hubungan sama kita, statusnya bakalan muncul di notification itu. Misalnya gue ngasih komentar di foto temen, temen yang punya foto itu bakal dapat pemberitahuan. Dan kalo habis itu dia nulis komentar di foto yang sama, gue juga bakalan dikasih tau.

Yah, semua orang yang make fesbuk mah nggak akan heran sama hal ini. Tapi, banyak yang nggak sadar kalo hal ini sering dimanfaatkan sebagai ajang nyampah (dasar umay!). Sistem quick reload pada notification tab ini juga bisa berdampak panjang pada tali persahabatan anda. Haha. Bayangkan anda dan teman anda sedang lula, namun posisi sejauh dari batukaras ke rancaekek. Di masa lula itu secara sengaja anda menulis komentar di status teman anda, yang dibalas cepat oleh teman anda segera setelah ia menerima pemberitahuan. Premisnya, anda dan dia adalah teman bebuyutan yang tidak tahu tempat untuk bercanda serta tidak paham bagaimana cara kerja logika. Misalnya, klik contoh di kanan ini:

Tulisan ini nggak dimaksudkan buat menghina atau memuji salah satu penyedia layanan yang bersangkutan lho, tapi cuma review. Karena toh gue nggak dapet royalti apa-apa dari nulis ini. Tapi seandainya tetap merasa terhina, silahkan anda yang bersangkutan periksa ke diri sendiri, apa anda pantas merasa terhina ataukah anda sendiri yang terlalu banyak dosa.

Akhir kata, walaupun gue juga tau ini kata yang aneh untuk menutup tulisan, Gong Xi Fat Choi! Dan khusus buat alumni Gonzaga dan FSRD-ITB, Gong Xi Fat Cuiy!

Minggu, Januari 25, 2009

It needs a clover and a bee to make a great prairie


Menonton film Hachimitsu to Kuroba (Honey and Clover) untuk kedua kalinya. Hehe. Selalu ada detil menarik untuk dilihat kembali. Tempo yang lambat di awal ternyata cukup menyebalkan, mengingat kandungan ceritanya sebenarnya menarik. Bisa dibilang first impression dari film ini menjemukan. Bleh.

Kesampingkan tata cara penulisan review gue yang nggak baik dan nggak benar, lalu mari kita mulai menuangkan kecap ke wajan.

Diangkat dari manga berjudul sama yang katanya laris di pasaran Jepang sana (heran, kok bisa laris sih? padahal berbau seni) karangan Chika Umino. Bercerita tentang kehidupan 4 mahasiswa senirupa dan 1 arsitektur yang sedang melewatkan masa-masa muda bahagia. Kalau dibaca secara terbalik boleh juga. Cerita tentang beberapa mahasiswa seni rupa yang menjalani masa mudanya dengan segala gaya khas seni rupa. Itu belum termasuk keunikan tiap tokohnya.

Secara keseluruhan tidak ada hal yang hiperbol di film ini. Anehnya mulai dari menit ke tigapuluh, ada saja rangsangan yang menarik sudut bibir ke arah atas. Scene yang gue maksud adalah saat tokoh bernama Hagumi, membuka matanya dan bangun dengan headphone terpasang di kepala dan mulai membentangkan kanvas. Mulai dari titik ini hilang sudah perasaan bosan. Mata juga terus asik mengalir mengikuti detil studio-studio yang terdapat di film ini. Sayang studio seni grafis nggak ada. Sial!

Kayaknya barusan gue udah bilang (baca: tulis), (eh keren nih!) kalo film ini nggak hiperbol. Oke, emang, tapi bukan berarti film ini hambar atau gimana. Pertama-tama gue nggak akan bilang film ini ngasih efek yang sama ke anak di luar ruang lingkup seni rupa, nggak bermaksud mengkotak-kotakkan, tapi ada beberapa detil yang hanya bisa berdampak pada mereka yang mendalami dunia seni. Misalnya saat tokoh Morishita dan Hagumi membuat lukisan di halaman studio. Dan kalau ditanya apa efeknya buat gue, Jun, dan Wing, seperti juga pada Bhiema dan Sapi; jawabanya adalah satu kata ambigu: "Anying!".

Awal yang lembek, eskalasi yang tidak disangka-sangka, klimaks yang oke, rasanya kurang lengkap kalau tanpa ending yang nyaman. Ahoy! Yak, film ini punya ending yang cukup nyaman dan meyakinkan, walaupun (yah) agak nggantung. Tapi ya udah lah nyantai aja, toh kita nggak nonton sambil mabuk bukan? Endingnya sama sekali tidak menutup cerita, hanya memberikan kesimpulan sementara. Tapi toh dari awal film alurnya tidak rusuh (hanya sedikit menggemaskan), jadi rasanya enteng aja menerima keseluruhan film.

Kesimpulannya film ini inspiratif, dan sebaiknya ditonton.

Sabtu, Januari 24, 2009

Tipuan mata

Ada yang salah dengan saya? eh salah, gue. Nah, itu kesalahan pertama. kesalahan berikutnya bisa jadi ada pada postingan ini. Kenapa? Nggak kenapa-napa juga sebenernya. Tapi karena gue orang yang suka cari-cari masalah, akibatnya ya gini.

Subuh jam 2:32am tadi, gue nyari makan ke Warung Bapak Gisin di depan kampus. Permasalahannya adalah nama penjual warung itu bukan Gisin, melainkan Charmin (baca dengan bahasa Indonesia berlogat Jawa). Tapi itu tidak menjadi masalah, karena kalau kita menghina-hina Pak Gisin di warung itu, tidak ada yang marah.

Gue pesen nasi goreng pedes (bukan pedas) satu setengah porsi, ya satu setengah, soalnya porsi Pak Gisin pelit. Jun pesen capcay pake telor, Molen pesen ayam goreng nggak pake lama, Wing minta mie goreng walaupun nantinya dia harus membayar juga. Berhubung Pak Gisin yang mengaku-ngaku bernama Pak Charmin itu sudah cukup berumur, maka kami tinggal dia di warungnya untuk memasak. Sedangkan kami yang masih muda pergi ke CK. Itu bukan berarti kami sombong, tapi Pak Gisin memang harus bekerja demi menafkahi keluarganya.

Di CK kami disambut dingin. Bandung terasa masih dingin diguyur hujan yang sekarang menjadi irit, tapi kios waralaba itu masih saja memasang AC. Mungkin bukan karena pemiliknya tolol, tapi biar sapaan selamat malam dari dua pegawainya malam itu terasa hangat. Sayang kedua pegawai itu laki-laki, dan tidak ada yang mengaku homo di antara kami berempat, maaf saja kalau kami acuh tak acuh.

Beres urusan kami di CK, kami kembali menuju warung si Bapak tanpa identitas yang jelas itu. Kami tidak menemukan masalah saat menyebrang jalan, mungkin karena kami sudah dewasa dan bisa menjaga diri sendiri.

"Dasar orang Indonesia, nyebrang bukan di sebra kros." Kata gue sambil tetap menyebrang. "Coba di Jepang. Huh!" Perjalanan berlanjut. "Ini lagi, bocah dugem! Bukan tempat parkir malah parkir! Itu lagi! Bukan tukang parkir sok-sok ngasih tempat parkir!"

"Haha." Wing membalas.

"Tapi cewek itu aneh ya?" Kata gue tanpa bermaksud nanya.

"Kenapa?" Wing mencari tahu.

"Bukan musim panas pake hot pants malam pula."

"Hmm."

Mendekati belokan Jalan Ganeca. "Aduh!" Mobil sialan berlampu xenon tiba-tiba melintas. Bukan karena cahayanya mendukung proses global warming yang berdampak pada berkurangnya populasi pinguin di antartika. Tapi karena cahayanya membuat bayangan tajam yang menghalangi pandangan di troroar berlumpur itu hingga gue nggak nyadar kalau ada kubangan air di sana. "Sialan!"

Kecil kemungkinan adanya kubangan di trotoar itu diakibatkan oleh kelalaian Dada Rosada yang terlalu asik membangun proyek kapitalis ini-itu. Tapi bisa jadi hutan Babakan Siliwangi yang semakin sedikit jumlah tumbuhannya mengakibatkan air yang gagal diresap tumbuhan menjadi tergenang di sana.

Akhirnya setelah menunggu beberapa sesaat kemudian, kami kembali dengan membawa makanan di kantong plastik untuk dimakan di kampus. Menggunakan kantong plastik bukan berarti kami menyatakan perang kepada anak-anak Planologi yang terkenal dengan kampanye anti plastic-bag mereka. Justru seharusnya mereka yang lebih baik mengumumkan perang terlebih dahulu kepada kami, berhubung kami iseng-iseng mengganggu mereka sewaktu acara wisudaan Oktober kemarin. Penyebabnya bukan karena mereka jelek, tapi karena kami memang anak-anak nakal. Cukup nakal mungkin untuk bilang mereka jelek.

Oke cerita berakhir di sini.

Mata anda sudah merasa tertipu? Kalau iya, coba periksakan diri anda ke psikolog. Bisa jadi jiwa anda sedang terguncang. Kalau anda bingung, bisa dipastikan anda bukan mahasiswa seni rupa tingkat akhir dan anda masih waras.

Just wanna say hello to my first page

Pernyataan yang berbentuk pertanyaan pertama: kenapa pindah?

Karena gue pikir kalo harus buka-buka frenster dulu sebelum nulis blog, jatohnya bakalan lama. Lagian gak semua bocah punya frenster kan. Blom termasuk mereka yang intim sama fesbuk atau multiplai. Intinya makin banyak yang baca semakin bikin asik.

Ya oke, selamat tinggal untuk former blog gue yang menyimpan banyak masalah itu. Dan selamat datang pada masalah baru di depan. Haha. Ya oke lagi, gue nggak akan janji blog ini bakal dipenuhi sama kebodoran yang sama, malah gue pikir bakal berkembang jadi sedikit lebih sarkas. Haha. Seperti remaja labil pada umumnya.

Postingan pertama ini ditulis di kantor galeri, sambil represing dikit selagi gue masih melanjutkan seri karya drawing gue yang paling baru. Ayeah!

Jadi kenapa pindah? Ya karena frenster entah kenapa kok tiba-tiba jadi lemot melulu, lagian makin banyak orang umay di frenster. Hiii, geli-geli.

Jangan banyak komentar dulu lah, soalnya leyaut dan segala macem visual di blog ini juga blom rampung juga. Jujur mah, gara-garanya gue bingung baca menu setingannya. Padahal kata bocah-bocah, ni blog katanya lebih gampang disusun, serta hasil editannya lebih ahoy gitu. Maaf deh ya kalo gue gaptek.

Makanya bantuin dong!