Sabtu, Juni 06, 2009

If You're a Printmaker, Act Like One...

Avant-propos...

Mulai mengisi kertas canson A3 kosong dengan goresan pensil. Mencoba memuntahkan apa yang sudah gue cerna. Dan nggak bisa. Mual ini nggak tertahan lagi. Akhirnya gue mencoba berkeliling studio. Dan di salah satu easel gue nemu tulisan dengan media kapur: gagal!!!

"Wanying! Apa-apaan si nih?"

Gue baca tulisan itu sama temen gue yang lain, yang kebetulan lagi ada di situ. Penasaran dengan apa yang bikin gue komen kaya gitu, dia langsung nyari tau (dan akhirnya tau).

Anak ini (yang nulis) lagi ngerjain karya grafis dengan teknik konvensional tentunya. Asumsi dasar yang gue pegang kalo dia sampe nulis kaya gitu, berarti: terjadi kesalahan teknis dalam pengerjaan plat, atau faktor lain di mana karya gagal untuk dijadikan edisi (minimal berdasarkan tuntutan kuota pribadi).

Satu-satunya cara untuk memastikan apa yang dia maksud lewat tulisan itu adalah dengan ngeliat hasil cetakannya itu sendiri. Akhirnya berdua kami nyari karya yang lagi dia kerjain. Ketemu, dan baru kami mulai menganalisa.

Cetakan pertama:
Gue: "Hah?"
Temen gue: "Lha, ini apanya yang gagal?"
Gue: "Hmm..."
Temen gue: "Oh, platnya kebalik ya?"

Cetakan kedua:
Temen gue: "Lha ini biasa aja..."
Gue: "..."

Cetakan ketiga:
Temen gue: "..."
Gue: "..."

Cetakan keempat dan seterusnya:
Gue: "Ya, ya, ya..."
Temen gue: "Oke, oke... Gak usah ditanyain lagi lah ye..."
Gue: "Ah, norak amat! Mau dia jago kayak apa juga sama aja boong kalo kayak gini. Namanya printmaker ya harus proofing lah. Gaya amat nggak pake proofing."

Anak ini ngerjain edisi dengan teknik yang bikin dia harus 'ngerusak' plat untuk nyetak warna yang baru. Artinya, dia nggak mungkin nyetak warna sebelumnya lagi. Dari apa yang gue liat, masalah ada di setting mesin press, yang miring sebelah. Tapi herannya kenapa sampe harus gagal sebanyak itu baru dia nyadar letak masalahnya (atau cara ngakalinnya).

Tapi yang bikin gue paling jengah waktu liat roller, papan press, sama batu litho yang dipake buat nyampur warna semuanya serba biru. Shit! Ya, emang nggak biru-biru amat, tapi biar dikit juga kalo tinta masih nyisa di alat gitu efeknya malah nggak akan bagus. Bikin semua nggak akan bener.

Silakan deh sebut gue sok seniman auratik yang salah zaman, sok perfeksionis atau apapun. Tapi gue nggak peduli. Soalnya ga mungkin kalo yang ngomong gitu tau cara ngejaga kebersihan. Waduk (bohong) lah!

Gue nggak tahan ngeliat semuanya. Tapi gue juga males ngebersihin. Batu litho tempat nge-roll tinta itu kotor, penuh nuansa biru. Sejaman-jaman batu litho nggak pernah sampe segitu joroknya. Cukup tau aja dah. Ngehe!

Akhirnya gue minta tolong temen gue buat ngangkat papan press dan kami ngebersihin bedua doang malem itu. Gue semprot roda-roda, baut, as roller, sama joint mesinnya pake WD40 plus diminyakin lagi. Apa boleh buat lah...

Atas apa yang gue rasain malem ini dan apa yang gue alamin, gue akhirnya memutuskan buat nulis note agar semuanya bisa baca, plus satu tulisan kapur lain di bawah tulisan temen gue itu (tapi gue males nulis lagi).

Pesan Dari Conrad...

Mesin cetak itu adalah teman kita yang terbaik.
Mereka ada bahkan sejak jaman dosen-dosen kita masih kuliah.
Mereka masih bisa bekerja dengan baik.
Jadi jangan salahkan mereka untuk kegagalan yang kalian terima.

Memang umur mereka sudah tua.
Tapi mereka masih dapat mengerjakan tugas mereka.
Memang mereka sudah renta.
Tapi mereka tetap labih dari sekedar onggokan instrumen besi belaka.

Mereka masih setia menemani kita di setiap waktu.
Di setiap tengat semester, di sepanjang tahun sejak kita masuk hingga nanti kita beranjak dan mungkin kembali lagi.

Kita membutuhkan mereka, begitu pula adik-adik kita nanti.
Mungkin juga kalian di suatu kesempatan lain.

Mungkin kalian nanti bisa dengan gampangya pergi meninggalkan mereka tanpa pamit.
Tapi bagaimana dengan adik-adik kita yang belum mengenal mereka.

Adalah kewajiban kita untuk mewariskan jiwa.
Adalah keharusan kita berbagi nyawa.

Bahwa proses berkarya merupakan suatu ritual.
Bahwa setiap peralatan yang kita punya merupakan modal.

Sadari keberadaan mereka di sana sebagai anugrah atas kekurangan kita untuk memiliki.
Sadarilah bahwa mereka merupakan akses menuju kemudahan, walau jangan pula sampai terninabobokan.

Rawatlah mereka, peliharalah mereka, bersikap baiklah pada mereka.
Atau setidaknya mulai dari bertanya "di mana letak kelalaian saya?"
Setiap kali hasil cetakan yang kita terima tidak sesuai dengan apa yang kita harapkan.
Karena adalah bodoh untuk memaki mesin yang tidak bernyawa.

Karena setiap hal kecil dalam instrumen grafis menentukan hasil akhir karya.
Karena satu kelalaian berpotensi pada kegagalan sia-sia.
Karena bukan tangan kalian yang mengaplikasikan tinta.
Karena bukan karena kecerdasan kalian hingga warna itu ada.

Karena seni grafis adalah ars multiplicata.
Selalu persiapkan diri sebelum berkarya, dan jangan pernah kehabisan tenaga sebelum semua kembali seperti sedia kala.
Selalu lakukan uji coba sebelum akhirnya beranjak pada edisi pertama.
Selalu jajarkan setiap cetak karya agar kalian tahu letak kekurangannya.

Saat semua orang mendewakan kemudahan dan melarikan diri pada era digital.
Bukan merupakan kutukan jika kita harus memahami teknik konvensional.

Karena langgam dan instrumentasi setiap studio berbeda.
Dan dalam studio kita, berbagi merupakan irama tanpa jeda.

Untuk semua alat yang ada di sana adalah hak kita untuk menggunakannya tanpa kita harus membeli
Jadi selalu bersihkan mereka kembali seperti saat sebelum kita gunakan
Jika alasan digunakan orang lain menjadi pembenaran kalian enggan membersihkan dan duduk berpangku tangan
Maka ucapan terimakasih pertama selayaknya dilayangkan pada kalian untuk setiap keberhasilan dan jerih payah adik-adik kita mendatang.

Akhirnya, seperti apa yang tertulis dengan tinta merah pada mereka untuk kalian ingat:
"Mencetaklah sepuasnya, setelah itu bersihkanlah sebersih-bersihnya."
Karena itu semua bukan pajangan belaka.
Maka, saat kalian berada pada lantai grafis, bersikaplah selayaknya seniman grafis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar