Rabu, Juni 30, 2010

Bis Kota, Oh Beruntungnya Naik Bis Kota

Dan gue merasa beruntung mengikuti program residensi di Ancol ini. Apapun resikonya, toh sisi baiknya gue bisa segera menjauh dari segala permasalahan dan repetisi lawakan bodor yang hanya akan menghambat pikiran gue. Walaupun hanya untuk sementara. Bukankah, akan lebih baik untuk belajar dari pengalaman hari ini dan menjadi lebih baik di hari esok? Daripada selalu takut dan menghindari resiko yang jelas-jelas harus kita hadapi suatu hari nanti. Belajar dari pengalaman pahit sama saja seperti mengalami imunisasi. Untungnya, waktu yang tepat selalu berada di pihak gue.

Rutinitas naik bis ke suatu tempat dan pulang ke rumah. Berapa tahun sudah berlalu sejak terakhir gue sekolah? Dan setelah gue lulus dari ITB, bergelar sarjana seni (ah, nggak penting!) akhirnya secara cepat gue dikembalikan ke rutinitas itu. Dan dengan sudut pandang baru gue bisa melihat dan kembali belajar memaknai segala sesuatu yang terjadi di ibu kota.

Walaupun dominasi bau keringat para pekerja di sore hari menjelang malam sudah mulai berkurang dari suasana ini sejak kemunculan busway, tapi tetap ada kelucuan-kelucuan yang gue yakin ga akan didapatkan oleh anak-anak yang manja pulang-pergi diantar supir. Perihal mereka tetep aja stres karena macet yang naujubile, gue ga peduli! Toh, mereka tetep bisa duduk dan mengomel mencaci maki keadaan dan kesalahan dengan santai. Sementara di dalam bis kota, kebebasan hanya ada di mulut sopir dan kernet. Kalau mereka mencium pantat kendaraan lain dan harus digebukin masa, ya itu lain soal tentu saja. Tapi gue sendiri nggak nyangka, kalau rutinitas ini lambat laun menjadi sesuatu yang, walaupun harus dalam keadaan bungkam, tapi entah kenapa terasa menyenangkan.

Menyenangkan menjadi saksi tidak penting atas kejadian yang lebih tidak penting lagi, seperti misalnya tiba-tiba sopir turun saat lampu merah dan tiba-tiba kencing di jalan hanya ditutupi sehelai pintu besi, lalu kembali mengemudi dengan wajah tanpa dosa ataupun rasa bersalah. Men, itu di jalan raya! Atau bagaimana menghadapi arogansi seorang ibu dan anak dengan tabah saat merebut tempat duduk di bis yang penuh sesak. Mencoba mendapatkan jatah kursi untuk masing-masing dia dan anaknya. Atau menyerahkan jatah kursi pada kakek uzur walau kaki sebenarnya sudah menolak untuk dijadikan tumpuan lagi. Belum lagi saat muncul perasaan aneh bin bodoh saat bersebelahan dengan mbak-mbak kantoran cantik (dan wangi), untuk beberapa menit merasa dekat. Dan di menit lainnya kami harus rela berpisah di koridor busway yang berbeda.

Yah, sekelumit cerita dari kegiatan harian memang selalu menarik saat dimaknai secara lebih lanjut. Nggak usah ngiri dengan cerita gue. Hahaha. Karena toh emang nggak ada pentingnya. Tapi mungkin yang akhirnya perlu gue tulis di sini, dalam lingkungan seni yang gue tinggali selama ini gue memang selalu diajak untuk peka terhadap keadaan sekitar. Kepekaan itulah yang mungkin membedakan seniman dengan pekerjaan lainnya. Sebagai seniman, kepekaan itulah satu-satunya kekayaan yang kami miliki. Tapi bukan berarti gue sudah peka, jujur saja gue malah nggak mau terlalu peka dengan keadaan sekitar. Alasannya sederhana, biar gue bisa menarik diri dan tidak larur terlalu dalam terhadap satu masalah.

Egoiskah gue? Ha! Kalian yang menilai.

Kalaupun gue selama ini merasa diri gue beruntung dan memposisikan diri gue sebagai yang beruntung, adalah karena gue nggak punya keberuntungan lain selain memiliki perasaan itu. Mungkin kalian beruntung punya mobil dan sopir. Mungkin kalian beruntung kuliah di luar negri. Mungkin kalian beruntung karena orang tua kalian kaya (ah, tapi toh bukan kalian yang kaya, hahaha). Mungkin kalian beruntung karena teman kalian banyak. Tapi mengingat kembali tulisan Oom Kahlil, bahwa keberuntungan sejati datang dari hati yang tulus, mungkin kita memang harus melihat kembali untuk merasakan, apakah kita cukup beruntung?

Gue akhirnya bisa memaknai banyak hal karena gue juga belajar untuk bertoleransi dengan segala jenis keadaan. Dan nggak semua keadaan itu menyenangkan untuk dihadapi. Tapi mungkin juga, karena itulah gue akhirnya bisa menghadapi banyak hal tanpa harus merasa terlalu membebani ataupun terlalu jumawa.

Institusi manapun di mana kalian belajar tidak mengajarkan tentang rasa dan perasaan, mereka hanya menanamkan filter. Pelajaran tentang rasa dan memaknainya hanya akan dapat dipelajari setelah membuka diri dan menerima dunia luar.

Akhirnya, hanya ada satu kata penutup: “Cieee!”

“I’m jealous to the whole world”

Ouw yea, Lois Lane mungkin berhak untuk ngemeng kayak gitu. Dan setelah sekian lama (sekitar 12 tahun) sejak terakhir gue nonton film itu, akhirnya gue bisa memahami dan mengerti maksud ucapan doi.

Well, okay! Menurut gue sih, hal itu lucu. Selama ini gue melihat wanita dihadapkan pada kodrat dan kesombongan untuk dipuja-puji. Tapi toh di sisi lain mereka enggan mengakui kalau mereka lemah. Dan, oh, oke, gue belajar satu hal yang pasti tentang tipe wanita kayak gini; gengsi mereka selalu lebih besar dari akal sehat mereka untuk mengatakan yang sejujurnya. Bahwa mereka merasa tidak aman akan banyak hal sepele. They always feel insecure. Apapun itu, perasaan tidak aman-lah yang akhirnya membuat mereka membentuk benteng dan, yah, pada akhirnya mungkin banyak bersikap kontradiktif. Antara perasaan dan ucapan menjadi sangat berbeda, begitu kata para sesepuh.

Tapi, memang banyak wanita cukup tegar dan mampu menghadapinya. Gue tau itu. Tapi mungkin Naga Bonar benar perihal setiap wanita selalu ingin dinaikkan setali, setangguh apapun dia. Takut menyinggung perasaan orang yang akan tersinggung. Oke, gue sudahi yang ini. Hahaha. Lagipula, sudahlah. Wanita benci kalau dibaca pikirannya, walaupun sebetulnya sering kali mereka butuh itu juga.

Antara Lois dengan dunia ini, mana yang lebih penting buat Kal-El? Kehilangan dunia berarti juga kehilangan Lois, tapi untuk menyelamatkan dunia itu berarti menghilangkan Lois dari pikirannya. Beratnya, Lois nggak pernah peduli dan nggak pernah suka sama Clark. Yah, semua orang tahu siapa yang dia suka, walaupun itu bukan berarti seluruh dunia tahu siapa itu Lois Lane. Sebodo.

Dalam kasus yang sama cerita berbeda, gue memahami kata Peter, “This is my gift, this is my curse”. Keberadaan pahlawan super hanya sebuah gambaran ketakutan dan kelemahan kita yang selalu membutuhkan pertolongan. Oh, ya, tapi nggak salah-salah amat kalau itu memang harus terjadi. Toh orang yang lebih kuat memang berkewajiban membantu. Tapi Non, maaf, dalam kasus ini pahlawan super nggak ada bedanya dengan manusia biasa yang punya emosi dan punya keterbatasan. Doi bukan Tuhan, dan gue juga bukan pengkhotbah. Jadi sudahi saja wacana super a’la Mario Teguh ini. Super Mario!

Kalau bukan karena cemen dan manjanya orang, mungkin Lois nggak akan sampe ngomong kaya yang di atas itu. Kenapa? Karena orang pasti udah nggak butuh si manusia baja itu lagi. Tapi mungkin juga, toh karena Lois juga cemen maka Clark suka. Dan bukankah dunia berjalan seperti itu? Hahaha.

Kritik: Sotoy lo Ko!

Respon: Biarin! Gue kan Virgo, ye!

It’s funny to know some things spins off. So then we can learn to live our life to the fullest. Selalu ada kesempatan untuk belajar, tapi selalu saja ada beban untuk membuka mata. Ah, itu sih cuma alasan saja. Yang jelas, maksud gue memang butuh waktu untuk menyadari korelasi antara satu hal dan hal lainnya. Walaupun sekilas berbeda, tapi inspirasi datang dari mana saja. Apa sih?

“Karena menurut pengalamanku, saat kau berada di dasar, satu-satunya jalan tersisa adalah kembali ke atas” – Thaddeus Thatch, Atlantis (kira-kira begitu setelah diterjemahkan).

NB 1: Ngomong-ngomong, kenapa di sepanjang film Superman II isi banyolannya ga penting semua gitu sih?
NB 2: Eh, itu belum termasuk celetukannya Lex Luthor dan bapak-bapak yang tetep nelpon waktu Zod nyemburin badai.

Call Me Garfield

Yep, sekali-kali dengan judul bahasa inggris. Itu jawaban gue kalau-kalau kalian mau bertanya, kenapa tidak menggunakan Bahasa Indonesia yang selalu gue bangga-banggain.

Oke, cukupkan bacot ini dalam nada sol-mi-re, minor!

Lalu 8 dari 10 pembaca akan bertanya, kenapa dengan Garfield. Dan maka, ijinkan gue untuk memberi selamat kepada pasangan yang tidak bertanya, karena itu artinya kalian menolak untuk mengikuti arus.

Apapun itu.

Pertanyaan pertama butuh lebih dari 3 paragraf untuk menjawabnya. Kenapa gue tahu itu? Jelas, karena gue penulis jawabannya.

Paragraf pertama, ya, tentu saja kami berdua mempunyai dua kesamaan. Coba kalian ingat seberapa gendutnya kucing itu dan seberapa pemalasnya dia. Seperti Garfield, gue punya hak untuk menjadi gendut. Hanya saja, sayang, itu nggak pernah terjadi. Tapi walaupun gue punya hak itu, toh kalaupun bisa gue nggak akan mau. Karena gue bersyukur menjadi diri gue apa adanya. Betul?

Nggak juga. Sebenernya itu salah. Karena bagaimanapun juga, gue sering juga merasa kesal dengan keterbatasan diri gue. Menjadi diri sendiri berarti pula memaklumi keterbatasan diri. Manusiawi untuk menjadi kesal dan marah, tapi itu bukan pembenaran. Lagian kayaknya susah jadi orang gendut, susah bawa badan. Entah aneh entah untung, gue nggak pernah bisa gendut. Hahaha.

Satu yang pasti, Garfield itu pemalas. Dan kalaupun di sedikit kesempatan dia menjadi pahlawan, itu bukan karena dia membela kebenaran tapi lebih karena kebetulan. Karena walaupun benar dan betul itu bermakna sama, tapi imbuhan ke-an membuat arti keduanya berbeda.

Ah, bacot!

Seperti Garfield, gue juga punya hak untuk males. Males itu menjadi dosa kalau dia menjadi pangkal kebodohan. Jadi kalo males, asalkan pinter, ya nggak apa-apa. Ya, tapi itu pun pembenaran, jadi jangan dipercaya. Ah, tapi toh terlalu rajin juga nggak baik untuk pencernaan bukan?

Eh, ini serius. Jangan dianggap bercanda!

Gue orangnya males untung mengulang-ulang sesuatu. Gue males untuk membuat sesuatu yang bermakna sakral menjadi profan. Tapi yang jelas gue males jadi orang bego, walaupun sering juga dibego-begoin justru mendatangkan keberuntungan. Well, I’m the lucky bastard afther all. Gue males melakukan hal yang nggak penting. Jadi kalau gue melakukan hal nggak penting, itu tandanya gue sedang menganggap hal itu penting. Banyak lah kemalesan gue kalo diitung-itung. Gue juga males nulis, tapi tulisan gue sering panjang-panjang. Jelas bukan lantaran gue rajin nulis, tapi lantaran gue males ngoreksi apa yang udah gue tulis. Dan yang terakhir, gue males untuk terlalu jujur. Walaupun gue juga ga suka bohong. Jadi, percaya nggak percaya, itu terserah kalian. Intinya, seperti si kucing gendut itu gue pemalas yang (untungnya) sering keliatan rajin.

Satu temen gue pernah bilang ini berkali-kali: “Have fun with your life”. Apapun maksudnya dia ngomong itu, yang jelas gue inget karena menurut gue quotes itu nggak jelek-jelek amat. Tapi bagus juga gue inget quotes itu, karena dengan begitu semua hal berat bisa gue hadapi dengan lempeng. Nggak perlu berlebihan dalam menilai sesuatu, yang penting hidup itu jadi terlihat menyenangkan. Betul nggak?

Kenyataan memang menyebalkan, tapi bisa jadi itu karena kita baru sampai pada sebagian kecil perjalanan hidup kita. Hidup ini nggak kaya baca buku, bisa di-skip. Nggak juga kayak main game, bisa di-restart. Apapun yang lo lakukan, yang terjadi tetap terjadi. Jadi jangan menyesali masa lalu yang udah lewat, apalagi kalo itu bukan salah lo.

Hafe fun with your life is a new way to giving up the grudge and smile up for tomorrow. Kuncinya, selalu berikan yang terbaik dan apapun kerjaan yang lo mulai kerjakan sampai selesai. Cie, gue udah kaya Super Mario Teguh. Zuper!

Pada pertanyaan selanjutnya, hanya 1 dari 8 pembaca yang akan bertanya. Ada apa dengan nada sol-mi-re? Minor pula! Tapi biarlah itu jadi jawaban atas sebuah ungkapan sentimentil belaka. Karena gue lebih memilih untuk diam, daripada bicara bohong. Ya, itu pun karena sompral atau meracau tidak masuk dalam hitungan bohong.

Kalian pikir semuanya berserakan? O`ho, kalian salah. Semuanya hanya berulang, dan akan terus berulang. Semua jawaban sudah disediakan sejak di awal, sayangnya kebutuhan kita terhadap semua jawaban itu baru muncul saat kita bertanya. Dan, maka, diamlah. Karena cerita terbaik tidak lahir dari aplus.

Tidak, karena dia yang melahirkan aplus.

Sisanya, sudahi saja seperti lirik lagu Efek Rumah Kaca. Untuk siapa tulisan ini dibuat, “Kau dan Aku Menuju Ruang Hampa”.