Senin, Desember 21, 2009

Saatnya TA, Saatnya Berleha-Leha, Saatnya Bercerita


Saat ini gue makan popmi yang komponen monosodium glutamatnya belum tercampur merata. Tapi nggak masalah, kerena toh masih enak-enak saja. Kecuali kalau air-yang-terlalu-banyak dihitung sebagai persoalan.

Pada suatu hari di suatu ketika saat gue sedang tidur dalam senyap, seorang anak kecil menghampiri gue dalam mimpi. Dengan kuda poni dari resin dan pancang carousel (what was that? carousel, phonecell, and michel? another jumble 3 and selsel business?), dengan blekberi di tangan dan messenger di layar. Every feeling to talk is a text. Now you text to talk.

Tapi di sini nggak ada yang salah. Yang salah adalah gimana gue udah nggak bisa berbicara dalam mengungkapkan apa yang gue rasakan. Di saat dunia sudah terlalu berisik, lebih baik gue diam. In the world full of sound, all you need to do is listen. In the world full of noise, all you need to do is move. If the world full of voice, and if you are granted a wish to mute one, whom would you pick?. For the sake of my life I believe you would never pick yours from the entire lines.

Berbicara tentang pameran everything you know about art is wrong. Berbicara tentang semua kesimpang-siuran fungsi seni yang membanal hingga sekedar menjadi hiasan profan. Berbicara tentang intereferensial yang terlalu jemawut dalam setiap catatan. Yang terlalu berakrobat dalam setiap penampakan yang gagal menyampaikan. Catatan kuratorial apa itu? Mencomot berbagai referensi dari apa yang dengan mudahnya dapat kita temui, di mana letak orisinalitasnya? Di mana letak wawasan studi akademisnya? Di mana letak kekuatan jualnya?

Atau jangan-jangan memang seperti itulah tabiat para kurator selama ini? Asal comot dan asal keren. Asal tak banyak orang yang tahu dan bahasanya terlihat seperti wah dan berpendidikan maka hadirlah di situ nilai jual. Entah kenapa pada titik ini kurator lebih terlihat seperti binaragawan ketimbang kuli pena di balik kaca mata gue. Atau nikmati saja keadaan ini, siapa tau akan bermunculan banyak kelatahan-kelatahan lain (dalam bahasa inggris diistilahkan dengan kata "after").

Mungkin yang salah adalah institusi seni yang terlalu lama mengagung-agungkan hukum dan dalil sehingga buku menjadi dewa bagi kaum librarian nekrofilik. Mungkin salah mereka juga kita tidak pernah diajarkan hal baru. Mungkin salah mereka kalau kita hanya boleh lulus atas apa yang sudah pernah dibuat. Mungkin salah mereka juga kalau perasaan dan ego orisinil itu mati. Sebab setiap kali kita merasa orisinil, kita harus kembali berhadapan dengan permasalahan lama di mana kita harus menemukan karya serupa yang sudah pernah dibuat sebelumnya. Seolah berkarya menjadi seperti iuran yang nantinya akan dikocok dalam arisan pameran di galeri-galeri besar yang tidak tahu apa isinya sebelum kita membuka gulungan kertas dan membacanya keras-keras.

Tapi toh saat gue buka Alkitab, di situ Raja Salomo (Nabi Sulaiman, King Solomon) pernah menegaskan bahwa tidak ada yang baru di dunia ini semuanya sia-sia dan semuanya sudah pernah dilakukan dan terus berputar. Yah, bahkan para avant-gardist sudah dibunuh sejak ribuan tahun yang lalu, dalam Kitab Kebijaksanaan yang ditulis sang raja.

Jadi apa yang salah tentang seni dan apa yang membuatnya tampak seperti itu? Apakah seniman tidak pernah tahu apa yang ia kerjakan? Apakah mereka terlalu malas bertanggung jawab atas karya mereka? Atau memang benar selama ini perihal words narrow art? Atau jangan-jangan semua yang kita lihat ini hanya akumulasi permukaan masalah yang kehadirannya seperti gunung es. Atau jangan-jangan semua ini hanya seolah salah. Mungkin semua ini hanya pelatuk yang memicu diskursus selanjutnya, mungkin juga seni memang sudah mati sejak ia dilahirkan dalam kesalahan. Mungkin yang kita lakukan selama ini hanya mengusung keranda mayat seni yang sudah lama mati.

Mungkin seni sudah lama mati bersama tuhan. Mereka mati dikhianati profit, dominasi, dan komodifikasi, dan ekspansi korporasi. Maka sejak itulah seniman bangkit dan berusaha mendekati fungsi tuhan dan menjadi tuhan-tuhan kecil (setidaknya bagi diri mereka sendiri). Masihkan kita merasa perlu untuk menyediakan waktu, menyempatkan diri menyaksikan acara realigi kacangan, yang hanya peduli rating, tapi tak berujung pangkal dalam menyelesaikan masalah dialog macet antar agama di negara ini? Mungkin Zapatista lebih berhasil menciptakan dialog terbuka tanpa narasi yang panjang lebar ketimbang kita yang katanya beragama, beretika, dan cinta damai ini.

Nic, Nic, sini dah. Gue pengen ngomong.

Suatu hari seorang teman pernah datang dan melihat draft catatan kuratorial yang gue buat. Waktu itu gue sadar kalau membuat catatan itu nggak akan berguna banyak, selain hanya menambah ketajaman insting dalam melakukan manuver dan akrobat bahasa. Gue bukannya pengen ngebocorin rahasia kalo temen gue yang ini anaknya labil dan sempet beberapa kali nangis tanpa sebab, tapi apa yang gue pengen sampaikan adalah omongannya. Bahwa dia pernah bertanya "Emang setiap catatan seni harus dibuat kayak gitu ya? Bisa nggak dibuat biar orang awam kayak gue bisa lebih gampang nangkepnya?" Yah, tapi omongan bodoh itu nggak menghasilkan apa-apa selain kebingungan lain yang menyebalkan. Kebingungan untuk menetapkan yang mana yang lebih pantas berada di dalam sorot lampu panggung. Antara permasalahan majas visual atau metafora.

Percayalah, gue memperhatikan dia lebih daripada gue memperhatikan pohon atau omongannya.

2 komentar:

  1. Negeri ini tidak pernah punya cukup rasa untuk berseni. Menangis saja kita di pedalaman Papua, duduk di sebelah seorang yang sedang mengukir sebatang kayu di tangannya kala air matanya berlinang di pipinya, kemudian terpelongolah saja kala bekas batang kayu itu dirampok seorang tak berpigmen dan dijual seberang samudera seharga ribuan dolar.

    BalasHapus