Sabtu, Juni 27, 2009

"Facebook-'Like This' Campaign", Sebuah Abstrak Pernyataan Perupa Lainnya

sudah puas menodai wall orang-orang dengan jempol
pada ujung ibu jari mengangkasa
pada empat jari lainnya berbalik mengarah pada saya
dan kepalan yang tersisa pada wajah kalian

menyadari bahwa kalian bukan film
bahwa cerita kalian lebih bermakna
dari ratusan-ribuan keping dvd dengan banderol Roeper dan Ebert bajakan
bahwa setiap orang hidup dalam kesenangan dan kesedihan

bahwa setiap orang memiliki sudut kesendirian
yang tak dapat dimiliki orang lain
karena setiap individu berbeda pada pengalaman
teroksidasi pendidikan non-formal, non-mutual, dan non-ideal

tidak perlu mengalami hidup layaknya Nadja Halilbegovich
tidak usah menjalani hari-hari seperti Hersri Setiawan dan Jietske Mulder
karena pun kalian terbahak pada tulisan Raditya Dika karena ke-diri-an-nya sendiri
karena Pidi Baiq pun tidak takut berdiri dengan keanehan hidup apa adanya

karena manusia hidup sebagai percabangan kepentingan dan ideologi
bahwa kesukaan dimulai dari kesukaan pada tingkat kesamaan
dan akui saja bahwa perbedaan yang terjadilah yang menginspirasi kehidupan kalian
akui saja bahwa kalian selalu berusaha memperjuangkan kebedaan yang kalian miliki

bahwa kesamaan itu selalu menenangkan
bahwa perbedaan itu layak diperjuangkan
bahwa semua orang memiliki kesamaan dalam menginginkan kedamaian
tapi sering melupakan bahwa orang lain yang berbeda

saat satu-satunya kesamaan kita adalah perbedaan
lalu kalian tidak mengakui perbedaan itu dan berusaha menyamaratakan semua
maka kalian yang sebenarnya berbeda
dan mungkin kami yang sebaiknya meratakan kalian

mungkin sebaiknya saya mengakhiri semua pernyataan ini
pada buncah pikiran Jietske Mulder yang saya kutip:
aku merasa seperti sebatang pohon
kasar dan keras oleh angin
dan badai yang berkembang,
terbang bunga-bunganya
ditiup angin
dan buah-buahnya pun
terbuncang ...

terima kasih

Kamis, Juni 25, 2009

Susu Murni Nasional


Kali ini kita berangkat dari satu kata, kebodohan.

Kata temen gue, “Kalo lo make bahasa yang tinggi dan sulit, justru bakal bikin lo terlihat bodoh”.

Nggak merasa setuju tapi mencoba-coba buat setuju (karena gue juga ga begitu suka temen gue yang satu ini), maka ijinkan gue untuk bermanuver dengan bahasa-bahasa akrobatis. Sekedar ingin melihat seberapa keren kebodohan gue. Ebiet G. Ade juga toh pernah menggumamkan tentang manusia yang sering bangga dengan kesalahannya.

Eh, iya, jangan pernah percaya kalo yang gue tulis sebagai judul itu selalu berkaitan dengan isinya. Mungkin iya, tapi lebih sering nggak. Karena beberapa orang percaya, memikirkan judul membuat kita gagap dalam bercerita. Dan kayaknya gue salah satu dari mereka.

Mungkin ada yang nggak setuju dengan kata-kata gue, tapi gue juga nggak peduli. Karena gue nggak pernah maksa mereka untuk peduli jadi buat apa mereka maksa gue peduli pendapat mereka. Apalagi gue nggak tau siapa mereka, jadi buat apa mereka sok tau siapa gue?

Kami nggak beda. Jadi apa yang bikin kami beda?

Nggak ada. Kalaupun ada itu sekedar kelakuan kami untuk melakukan hal yang berbeda dari orang lain.

Nasionalis kah kami?

Siapa yang tau? Raden Saleh Sjarief Boestaman aja masih dipertanyakan soal nasionalismenya. Dia itu orang Indonesia yang terlalu lama di Belanda. Dan kami? Siapa pula kami? Kami orang-orang kelahiran Indonesia dengan budaya campuraduk. Individu multikultur yang banyak disuapi ikon global tanpa logos terjejal. Identitas kami lebih layak untuk dipertanyakan ketimbang angkatan kami yang ikut-ikut memperdebatkan apakah Raden Saleh Sjarief Boestaman nasionalis atau nggak.

Oke, kita mulai lagi tulisan tanpa ujung pangkal ini.

Sebenernya udah dari tadi.

***

Dulu gue nggak suka minum susu, tapi sekarang, jangan tanya. Nah, cerita satu ini adalah pengalaman di saat gue masih labil, masih bersikeras bilang ga’ doyan susu tapi tetep berangkat sekolah dengan berat hati kalo pagi nggak minum.

Kelas 3 SD, rumah lama gue dipake juga sebagai tempat kost khusus cewe. Kebanyakan yang nge-kost tuh pengajar di ILP (jadi tau kan asal muasalnya bahasa Inggris gue yang amburadul ini?). Dan suatu waktu yang nge-kost bukan orang Indonesia pengajar bahasa Inggris, tapi orang Amerika berbahasa Inggris belajar Indonesia.

Suatu pagi sebelum berangkat sekolah, gelas susu gue udah kosong padahal belum sempet gue minum. Ngeliat si bule berdiri di depan pintu halaman, bikin gue berprasangka ke doi. Dengan yakinnya gue nanya apa doi yang minum tuh susu gue, dan doi bilang nggak. Gue certain masalah barusan ke nyokap gue, eh malah gue yang dimarahin. Nggak sopan katanya. Tapi kalo dipikir-pikir mending tanya langsung daripada mendem gondok ternyata salah orang. Tapi itulah mungkin budaya éwuh pekéwuh a la Jawa.

***

Ngomong-ngomong soal rumah gue yang dulu, ada satu cewe yang paling awet nge-kost di sana, namanya Dianti, alias DJ. DJ bukan profesinya dia, cuma nama panggilan. Soalnya tanda-tangannya kalo diliat sekilas, kebaca kayak DJ. Ga tau betah atau males, yang jelas dia baru memutuskan untuk pindah waktu rumah itu dipugar. Yang tentunya gue sekeluarga juga harus ikut pindah ke rumah gue yang sekarang ini. Yah, toh itupun juga bukan rumah keluarga gue.

Mbak DJ ini orangnya rame, mau jam 11 malem juga dia masih aja rame. Nggak ada orang dia juga tetep rame. Waktu henpon blom se-bérécét sekarang, tangga besi di samping kamar gue selalu bergemuruh setiap kali nyokap habis teriak “DJ!”. Apapun itu lah, tapi heran, kalo udah jam 8 biasanya tiap kali telpon rumah bunyi, selalu lanjutannya teriakan, “DJ!”. Kalo sekarang dipikir-pikir lucu juga kalo didenger sama tetangga. Mungkin salah satu dari mereka dulu pernah ada yang komentar, “Wah, keluarga si Koko okem betul yak!”.

Gue sering pinjem komik-komik Misurind jadul punya dia. Dari macem-macem judl yang gue pinjem, yang paling gue inget ya Hoem-Pa-Pa, komik paling tolol, tentang jagoan Indian bongsor (kayaknya sih suku Mohican) yang temenan sama orang Amerika. Detil ceritanya gue lupa, tapi kalo dibandingin sama Asterix & Obelix, Hoem-Pa-Pa lebih ngocok. Bertaburan panel adegan nggak penting, seolah ketidak pentingan itu wajar. Terselip di antara detil latar, ekspresi, ucapan, tingkah laku, hingga plot cerita. Like this!

Punya pengajar les bahasa Inggris di rumah = punya game-objective’s translator, apalagi kalo RPG. Haha. Gue emang bodoh dalam hal memanfaatkan potensi orang secara maksimal, sekaligus paling pinter mengerjakan hal-hal ga penting.

Nah, sekarang gue udah kuliah, dan dia sudah menikah. Selamat ya Mbak, tahniah kalo kata orang malingsiah.

***

Dan tadi malem gue ngimpi keren. Di mimpi itu gue mainin bagian drum dari suatu lagu pake sendok dan garpu plastik diketokin di meja. Masuk ke bagian synth ada Cadut, pake (semacem?) kibor biru kecil dari jelly dengan tuts transparan warna-warni. Di bagian vokal ada Danu (yang ketua angkatan), tapi dia nggak nyanyi vokal itu keluar dari buku dongeng buat anak kecil yang dia bawa, yang kalo dipencet ada suaranya. Anak-anak yang lain muncul satu-satu dari tirai hitam dengan hiasan kain emas bermotif di sekeliling kami, trus ikutan képrok, foto-foto, nyanyi, joget. Kobé lah pokokna mah.

Bingung?

Namanya juga mimpi.

Masuk penghujung lagu, gue mulai sadar. Dan waktu lahnya beres saat itulah gue 90% bangun. Aduh, sial. Gue liat komputer gue dan di Winamp gue buka file info lagu itu karena mata gue masih burem. Trus gue berharap tidur lagi, lanjut mainin lagu berikutnya. Tapi ternyata nggak bisa. Sial.

Coba cari albumnya Flaming Lips - Yoshimi Battles the Pink Robots trek nomer 7, Are You a Hypnotist. Udah? Itu lagu yang masuk ke mimpi gue. Dan sebenernya semua suara di situ produk synth semua. Jadi aneh juga kalo gue main drum. Lebih anehnya lagi, lagu aslinya sama apa yang gue inget dalam mimpi sama persis (kecuali di bagian fade in sebelum reverb drum di awal) termasuk bagian nada sumbang yang di mainin Cadut atau roll aneh yang gue mainin. Semua yang bisa gue inget, bahkan 12/12 (udah nggak 11/12 lagi).

Herannya, di mimpi kayaknya beneran kami yang mainin. Visual sama beat itu 100% klop. Roll sama reverb di bagian drum nyambungnya edan. Kerasa kaya emang suara itu muncul karena gue mainin, ga kerasa kaya lagi denger suara spiker komputer dan terus kita berusaha nyesuain beatnya. Kayak kita bisa ngeramalin beat 2-3 detik di depan. Freak.

Jujur aja gue nggak banyak melakukan akrobat bahasa. Tapi apa kalian sudah merasa bodoh?

Sabtu, Juni 13, 2009

Metafor Kostum: Suatu Teori Retoris

Avant-Propos:
Pemikiran ini dimulai di WC seni rupa samping ruang seminar. Di saat tangan kanan sedang rileks dan tangan kiri sedang bersiap pada hal selanjutnya. Itu kalau menurut pendapat temen gue, Zaldy (yang nggak pernah di tes kebenarannya secara sah dan laik). Dan kata dia juga kalau dalam momen ini otak berada pada tahap paling inspiratif. Atau mungkin dalam tataran bahasa yang lain, psikologi seni seni misalnya, hal ini dijelaskan sebagai regression service of the ego yang menjelaskan tahap inspirasi seorang seniman, untuk membedakannya dengan orang dengan keterbelakangan mental (Bu Irma, bener nggak nih Bu?).

Hoek, jorok!

Nutrisi kompleks pada kedua hemisphere otak mulai melantur pada gelombang lamat-panjang. Melihat celana yang tergantung mengingatkan gue pada Clark Kent yang berganti baju secepat kilat pada sembarang boks telfon di metro (heran bajunya nggak pernah sekalipun rusak). Bukan merek baju tangguh itu yang akan gue bahas. Bukan pula perihal celana dalam salah pasang. Tapi sesuatu yang lebih dalam, makna lain yang tersembunyi di balik kostum itu. Hal yang secara khusus juga terjadi pada Peter Parker, Bruce Wayne, Barbara Gordon, Dinah Lance, Dick Grayson, Jason Todd, Tim Drake, Stephanie Brown, Damian Wayne, dan entah siapapun itu (karena gue cuma pernah baca via wikipedia).

Dimulai dari satu kata kunci: kostum, yang tiba-tiba terlintas saat gue ngegantungin celana. Berlanjut pada rentetan pertanyaan semrawut:
Ada apa dengan kostum itu?
Kenapa mereka berkostum?
Apa arti kostum tersebut bagi orang-orang di sekitar mereka?

Alasan "pra-sejarahnya" sih lagi-lagi berangkat dari semangat amerika yang terbuai heroisme pasca kemenangan mereka di PD II. Sadar nggak kalo kebanyakan warna kostum superhero di awal terutama yang jadi maskot, itu didominasi merah, biru, dan putih? Tapi (entah pernah ditulis sebelumnya atau belum gue ga peduli) akhirnya gue terjebak dalam pendapat konyol. Gue nganggep yang bikin kostum tuh si tokohnya, bukan pengarangnya. Selanjutnya gue menitik beratkan kostum pada permasalahan topeng. Maka gue menerima beberapa hipotesa, bahwa mereka berkostum karena alasan:
1. Takut,
2. Low profile,
3. Terlihat keren,
4. Nggak pede-an,
5. Pelampiasan alter ego.

Apapun itu lah ya...

Sebenernya apapun alesan pra penciptaannya, tapi toh perjalanan cerita (akhirnya) menjelaskan bahwa kostum itu melindungi orang-orang di sekitar mereka. Alasannya sederhana, kostum itu adalah topeng. Akhirnya yang gue maksud topeng di sini ga cuma sekedar suatu lapisan yang berfungsi menutupi wajah. Lebih dari itu topeng menutupi seluruh kepribadian si karakter.

Person yang kalau disandingkan dengan bahasa Indonesia sepertinya cocok dengan kata orang, atau yah, sesosok pribadi (dengan kepribadiannya), akar katanya dari persona. Arti persona sendiri ada beberapa:
1. Karakter yang dimainkan oleh seorang aktor,
2. Peran sosial, atau yah (maaf lagi lagi),
3. Topeng (makasih buat mas Wiki).

Duh, sialan. Akhirnya gue kecemplung dalam kasus etimologi bahasa. Tapi, mari persilakan gue bersikap sok seniman dalam mengerucutkan permasalahan secara sepihak. Maksud gue kostum akhirnya menjadi penanda kemunculan alter ego dari tokoh komik tersebut. Sebutlah si alter ego di sini merupakan sosok pahlawan bagi banyak orang. Misalnya Robin yang merupakan alter ego Tim Drake. Tapi dalam cerita ini, berapa banyak orang sih yang tahu kalau Tim Drake itu Robin the Wonder Boy?

Pertanyaan tadi akhirnya membawakan jawaban pada tiga pertanyaan sebelumnya. Tanpa kostum, Tim Drake yang beraksi di tengah malam akan hidup dengan ketakutan keesokan siangnya, saat dia sadar super villains yang dia ringkus semalam akan menuntut balas. Ah, tapi sayangnya Tim Drake dan penerusnya toh juga mati pada akhirnya, meninggalkan Bruce Wayne yang secara ajaib terus abadi ditemani Alfred Pennyworth dan Lucius Fox. Oh iya, tolong kesampingkan kasus karakter komik amerika yang selalu saja hidup lagi, berapa kalipun dia dibunuh dan diberitakan mati.

Keparat!

Tapi ayo lanjut. Semakin sedikit orang tahu identitas asli Robin, semakin aman pula orang-orang yang dekat dengan kehidupan Tim Drake. Kenapa? Coba ingat film-film india di mana entah ada berapa banyak Inspektur Vijay yang harus kerepotan membebaskan keluarganya dari cengkraman musuh. Satu hal yang pasti (selain jangan berikan anak kalian nama Vijay kalau kalian mau hidup tenang di hari tua), bahwa kostum itu juga melindungi identitas orang-orang terdekat si pahlawan. Katakan Matt Murdock sedang bersembunyi di amazon, maka akan mudah memancingnya keluar dengan menyandera (mungkin) tetangganya atau salah satu klien favoritnya. Apalagi di zaman modern seperti ini, di mana semuanya bisa di-googling. Nah, sekarang kita sedikit mengerti kenapa Bruce Wayne itu playboy.

Tuas diturunkan, dan air menggelontor seluruh isi jamban. Hmmm, sepertinya cukup sudah pemikiran malam yang melantur ini. Tolong jangan bantah teori gue, karena gue egois. Lagian gue juga udah bilang teori ini retoris.

Jumat, Juni 12, 2009

Kilometer Tanpa Ujung di Titik Nol

Saya tidak tahu sebanyak apa orang yang menganggap saya kawan.
Saya tidak peduli kalian peduli pada saya atau tidak sama sekali.
Tapi saya mengkoptasi kalian kawan saya, saat kalian peduli pada sesama kalian.

Saya tidak mengenal politik tapi saya inginkan revolusi.
Saya tidak peduli apa kalian mengenal politik atau tidak sama sekali.
Tapi saya yakin revolusi untuk membenahi dunia ada bersama tiap kebaikan yang kita berikan.

Saya bukan pejuang dan hanya sanggup bermimpi.
Saya tidak juga memaksakan mimpi saya pada kalian.
Tapi ternyata hal itu menjadikan diri saya bermanifes dalam pikiran kalian.

Saya tidak dapat banyak bicara tapi saya bisa tersenyum.
Saya tidak keberatan jika memang kalian pemurung atau pencemburu.
Tapi kalian pasti lebih memilih untuk membeli senyuman saya daripada kepalan tangan mereka.

Saya tidak peduli kalian memikirkan saya atau tidak.
Saya tidak membutuhkan eksistensi seperti itu.
Tapi banyak hal baik dimulai dari satu pikiran baik dan saya sedang bernyanyi di dalamnya.

Saya malas mengakuisisi konklusi dalam tulisan ini.
Saya juga tidak berniat menjastifikasi nilai moral apapun.
Tapi sepertinya kalian akan kembali pada judul untuk menemukan apa tujuan saya.

Nasi Goreng Aneh...

Setelah menurunkan karya-karya pameran ArtProprietor dari galeri C.M.N.K; gue, Magi, Majong, Danuh, plus Aul makan di kedai (kedai~, bahasa taun kapan nih? hahaha!) Rupa Rasa, Cigadung. Danuh, Magi, Majong milih nasi goreng oriental. Gak mau dibilang sama, gue minta nasi goreng nanas. Tapi Aul keburu dateng dan mesen nasi goreng nanas juga.

Shit!

Makan dengan sisa dana yang kami terima. Oke, itu baru yahud. Gak perlu Sushi Tei, karena kami tahu itu mahal.

Kembali ke mobil saat perut sudah kenyang. Apa yang akan kami bahas malam ini? Nggak ada? Nggak juga. Ternyata kami membahas pacar teman kami yang tidak lain masih teman kami juga. Bukan, bukan masalah dunia ini sempit, bukan juga teman kami terlalu banyak. Bahkan salah kalau pertemanan ini efek jejaring sosial serupa fesbuk, plurk, twitter, atau apapun itu namanya.

Intinya mantan dari pacar teman kami itu kecewa berat setelah mantannya jadian lagi. Perlu diketahui mantan pacar teman kami itu bukan teman kami, tapi kami hanya mendengar kabar, dan sekarang gue certain buat kalian. Bingung dengan logika bahasa gue? Oke, gue nggak peduli.

Si mantan diputusin gara-gara nggak seru (ah, alasan apaan tuh?). Si mantan terlalu sabar ceritanya. Dan si pacar baru emang nggak bisa dibilang baik-baik juga sih. Tuk-tuk berceletuk, kami mulai angkat bicara saling menimpali, hingga:

A: “Jadi cowo terlalu sabar, diputusin gara-gara nggak seru.”
B: “Sulit ya?”
A: “Jadi cowok urakan diputusin karena nggak pernah perhatian.”
C: “Sepakat!”
A: “Jadi cowok ganteng, ada selingkuhan.”
C: “Hehehe.”
A: “Blah! Cewe bilang cowo susah dimengerti.”
B: “Begitu pun sebaliknya.”
C: “Cowo bilang cewe susah dimengerti.”
A: “Tapi kalo cowo udah frustrasi, cowo jadi bilang cowo susah dimengerti.”

Lalu kami tertawa merespon kata-kata barusan. Kata-kata yang mungkin kalian nggak paham di bagian mana lucunya. Yah, memang nggak lucu. Tapi satir.

Sabtu, Juni 06, 2009

Tertawa Harusnya Membudaya, Bukan Sesuatu Yang Terjadi Karena Dipaksakan, Apalagi Garing.

Itu Avant-Propos yang merangkap judul.

Badan meriang karena kebanyakan begadang. Hari ini gue ketiduran hampir sebelas jam. Dan bukan ketiduran lagi pastinya. Rencana mau balik ke kosan dan menikmati malam. Biar komputer sedang rusak, tapi yang penting bisa menyemarakkan kasur yang menurut gue paling nyaman itu.

Baru banget gue bangun tidur Iqi sms. Ujung-ujungnya ya sms gue pada jam 18:36:23 tertanggal 6 Juni 2009, yang berbunyi:
Oh, nitip makanan apapun lah Qi, yg ptg nasi. Tnx bgt.

Ke toilet, pas balik ketemu Bonggal, ngobrollah kita. Kebetulan gue lagi masak air maka gue tawarin dia kopi, tapi dia nggak mau. Jadinya gue tawarin dia susu, dan dia mau. Ya, sebaiknya anak grafis memang selalu sedia susu, karena menetralisir atau seenggaknya mengurangi racun yang masuk ke tubuh. Ah, menunggu air mendidih, gue ngeluarin gelas dari loker, tak lupa sambil kami mengobrol dengan kesibukan sampingannya sendiri.

Menurut takaran di pouch susu itu, satu pouch bisa untuk 5 gelas susu, tapi gue rasa gue dan Bonggal agak sedikit serakah. Dua gelas untuk kami berdua dan apa yang tersisa hanya tinggal sekitar 1/5 volume awal.

Air dituang. Diaduk. Tapi nggak bisa langsung diminum. Nyante lah. Lima menit kemudian: "Wah, bwajingan 'i! Nduweku manis banget 'e. Yen aku we semene wis manis opo meneh sing kowe."

Itu dia Bonggal. Apa yang dia maksud adalah, susu yang dia buat itu udah manis banget (jelas, volume air dengan susu aja nggak sepadan), apalagi punya gue. Yang tentu saja lebih banyak dari dia. Tapi, iyakah?

"Hmm, enak."

"Wah, 'po iyo? Wah, yen aku pancen 'ra seneng yen legi banget. Mbleneg!"

Nggak lama Iqi datang. Ternyata Bonggal pun menitip makanan. Gue bayar, Bonggal bayar, Iqi ngasih kembalian, dan makanlah kita. Tidak lama Magi datang dan makan pula dia. Kami makan sambil lagi-lagi tertawa, menertawakan diri sendiri dan orang lain. Hari ini jarang ditemukan orang tertawa, jadi mumpung sempat kami yang menertawakan mereka, tertawa untuk mereka, dan tertawa pada mereka.

Dan waktu gue liat note kapur yang gue tinggalin kemarin, ternyata bunyinya udah berubah, dari yang tadinya:

Boleh gagal tapi jangan lupa dibersihin lagi! Jangan kebiasaan nyisain tinta!

menjadi

Boleh gagal tapi jangan lupa dibersihin lagi! Jangan kebiasaan nyisain cinta!

Oke juga tuh...

Jangan paksa kami melakukan hal yang akan kami sesali.
Karena setiap detik dalam hidup ini merupakan garis demarkasi.

If You're a Printmaker, Act Like One...

Avant-propos...

Mulai mengisi kertas canson A3 kosong dengan goresan pensil. Mencoba memuntahkan apa yang sudah gue cerna. Dan nggak bisa. Mual ini nggak tertahan lagi. Akhirnya gue mencoba berkeliling studio. Dan di salah satu easel gue nemu tulisan dengan media kapur: gagal!!!

"Wanying! Apa-apaan si nih?"

Gue baca tulisan itu sama temen gue yang lain, yang kebetulan lagi ada di situ. Penasaran dengan apa yang bikin gue komen kaya gitu, dia langsung nyari tau (dan akhirnya tau).

Anak ini (yang nulis) lagi ngerjain karya grafis dengan teknik konvensional tentunya. Asumsi dasar yang gue pegang kalo dia sampe nulis kaya gitu, berarti: terjadi kesalahan teknis dalam pengerjaan plat, atau faktor lain di mana karya gagal untuk dijadikan edisi (minimal berdasarkan tuntutan kuota pribadi).

Satu-satunya cara untuk memastikan apa yang dia maksud lewat tulisan itu adalah dengan ngeliat hasil cetakannya itu sendiri. Akhirnya berdua kami nyari karya yang lagi dia kerjain. Ketemu, dan baru kami mulai menganalisa.

Cetakan pertama:
Gue: "Hah?"
Temen gue: "Lha, ini apanya yang gagal?"
Gue: "Hmm..."
Temen gue: "Oh, platnya kebalik ya?"

Cetakan kedua:
Temen gue: "Lha ini biasa aja..."
Gue: "..."

Cetakan ketiga:
Temen gue: "..."
Gue: "..."

Cetakan keempat dan seterusnya:
Gue: "Ya, ya, ya..."
Temen gue: "Oke, oke... Gak usah ditanyain lagi lah ye..."
Gue: "Ah, norak amat! Mau dia jago kayak apa juga sama aja boong kalo kayak gini. Namanya printmaker ya harus proofing lah. Gaya amat nggak pake proofing."

Anak ini ngerjain edisi dengan teknik yang bikin dia harus 'ngerusak' plat untuk nyetak warna yang baru. Artinya, dia nggak mungkin nyetak warna sebelumnya lagi. Dari apa yang gue liat, masalah ada di setting mesin press, yang miring sebelah. Tapi herannya kenapa sampe harus gagal sebanyak itu baru dia nyadar letak masalahnya (atau cara ngakalinnya).

Tapi yang bikin gue paling jengah waktu liat roller, papan press, sama batu litho yang dipake buat nyampur warna semuanya serba biru. Shit! Ya, emang nggak biru-biru amat, tapi biar dikit juga kalo tinta masih nyisa di alat gitu efeknya malah nggak akan bagus. Bikin semua nggak akan bener.

Silakan deh sebut gue sok seniman auratik yang salah zaman, sok perfeksionis atau apapun. Tapi gue nggak peduli. Soalnya ga mungkin kalo yang ngomong gitu tau cara ngejaga kebersihan. Waduk (bohong) lah!

Gue nggak tahan ngeliat semuanya. Tapi gue juga males ngebersihin. Batu litho tempat nge-roll tinta itu kotor, penuh nuansa biru. Sejaman-jaman batu litho nggak pernah sampe segitu joroknya. Cukup tau aja dah. Ngehe!

Akhirnya gue minta tolong temen gue buat ngangkat papan press dan kami ngebersihin bedua doang malem itu. Gue semprot roda-roda, baut, as roller, sama joint mesinnya pake WD40 plus diminyakin lagi. Apa boleh buat lah...

Atas apa yang gue rasain malem ini dan apa yang gue alamin, gue akhirnya memutuskan buat nulis note agar semuanya bisa baca, plus satu tulisan kapur lain di bawah tulisan temen gue itu (tapi gue males nulis lagi).

Pesan Dari Conrad...

Mesin cetak itu adalah teman kita yang terbaik.
Mereka ada bahkan sejak jaman dosen-dosen kita masih kuliah.
Mereka masih bisa bekerja dengan baik.
Jadi jangan salahkan mereka untuk kegagalan yang kalian terima.

Memang umur mereka sudah tua.
Tapi mereka masih dapat mengerjakan tugas mereka.
Memang mereka sudah renta.
Tapi mereka tetap labih dari sekedar onggokan instrumen besi belaka.

Mereka masih setia menemani kita di setiap waktu.
Di setiap tengat semester, di sepanjang tahun sejak kita masuk hingga nanti kita beranjak dan mungkin kembali lagi.

Kita membutuhkan mereka, begitu pula adik-adik kita nanti.
Mungkin juga kalian di suatu kesempatan lain.

Mungkin kalian nanti bisa dengan gampangya pergi meninggalkan mereka tanpa pamit.
Tapi bagaimana dengan adik-adik kita yang belum mengenal mereka.

Adalah kewajiban kita untuk mewariskan jiwa.
Adalah keharusan kita berbagi nyawa.

Bahwa proses berkarya merupakan suatu ritual.
Bahwa setiap peralatan yang kita punya merupakan modal.

Sadari keberadaan mereka di sana sebagai anugrah atas kekurangan kita untuk memiliki.
Sadarilah bahwa mereka merupakan akses menuju kemudahan, walau jangan pula sampai terninabobokan.

Rawatlah mereka, peliharalah mereka, bersikap baiklah pada mereka.
Atau setidaknya mulai dari bertanya "di mana letak kelalaian saya?"
Setiap kali hasil cetakan yang kita terima tidak sesuai dengan apa yang kita harapkan.
Karena adalah bodoh untuk memaki mesin yang tidak bernyawa.

Karena setiap hal kecil dalam instrumen grafis menentukan hasil akhir karya.
Karena satu kelalaian berpotensi pada kegagalan sia-sia.
Karena bukan tangan kalian yang mengaplikasikan tinta.
Karena bukan karena kecerdasan kalian hingga warna itu ada.

Karena seni grafis adalah ars multiplicata.
Selalu persiapkan diri sebelum berkarya, dan jangan pernah kehabisan tenaga sebelum semua kembali seperti sedia kala.
Selalu lakukan uji coba sebelum akhirnya beranjak pada edisi pertama.
Selalu jajarkan setiap cetak karya agar kalian tahu letak kekurangannya.

Saat semua orang mendewakan kemudahan dan melarikan diri pada era digital.
Bukan merupakan kutukan jika kita harus memahami teknik konvensional.

Karena langgam dan instrumentasi setiap studio berbeda.
Dan dalam studio kita, berbagi merupakan irama tanpa jeda.

Untuk semua alat yang ada di sana adalah hak kita untuk menggunakannya tanpa kita harus membeli
Jadi selalu bersihkan mereka kembali seperti saat sebelum kita gunakan
Jika alasan digunakan orang lain menjadi pembenaran kalian enggan membersihkan dan duduk berpangku tangan
Maka ucapan terimakasih pertama selayaknya dilayangkan pada kalian untuk setiap keberhasilan dan jerih payah adik-adik kita mendatang.

Akhirnya, seperti apa yang tertulis dengan tinta merah pada mereka untuk kalian ingat:
"Mencetaklah sepuasnya, setelah itu bersihkanlah sebersih-bersihnya."
Karena itu semua bukan pajangan belaka.
Maka, saat kalian berada pada lantai grafis, bersikaplah selayaknya seniman grafis.

Kamis, Juni 04, 2009

Mereduksi Kebosanan

Menulis lagi.

Oke, apa yang anda, eh, maaf, elo harapkan hari ini? Gue mengharapkan hari ini berjalan lucu. Ha. Sebenarnya jujur aje dah, gue punya tugas kritik seni yang harus dikerjain, tapi setelah 3 jam nggak jelas di depan komputer, gue memilih untuk onlen dan menggampar dunia maya. Lalu, voila! Nikmati saja.

Apa yang lo pikirkan kalo menghadapi kata PAPAN KENYATAAN? Tadi malem Iqi nanya itu ke gue, Danuh, Arif, dan Aul. Di sela-sela tawa sebagai pertanda ketidakseriusan kami dalam mendisplay pameran di CMNK untuk malam ini.

Jawaban gue? Papan MDF buat alas gambar.
Danuh? Papan skor pertandingan sepak bola.
Arif? Arif nggak jawab, keburu tua, jadi akhirnya gue dan Danuh yang mengutarakan isi hati Arif untuk menjawab pertanyaan ini. Suatu hal yang tidak akan pernah sempat ia sampaikan sampai akhir hayatnya. Tenang Rip, kami masih peduli padamu sampai kapan-kapan.
Aul? Gue lagi di WC waktu Aul ngejawab. Bukannya Aul nggak penting, tapi apa yang udah berada di ujung tanduk adalah yang paling penting.

Lalu apa sebenarnya makna papan kenyataan itu? Ternyata menurut cerita Iqi, itu adalah bahasa Malingsia untuk papan pengumuman. Astaga! Dan mulailah kami kembali mengigau.

"Sekolah di Sekolah Menengah Nyata."
"Periksa ke klinik dokter nyata."
"Jadi kita harus naik angkutan nyata."
"Hidup di dunia umum."
"Hal-hal nyata dan tak asing lagi."

Ya, ya. Keumumannya kami memang tertawa dengan tidak jelas tadi malam.